MAdBB-11


MATA AIR DI BAYANGAN BUKIT

JILID 11

kembali | lanjut

cover madbb-11TETAPI pemburu yang seorang itu pun tidak mau melatih semua anak-anak muda pada waktu yang sama, karena hasilnya tentu kurang baik. Pemburu yang seorang itu membagi. anak-anak Lumban Wetan menjadi tiga kelompok yang masing-masing mendapat kesempatan yang berbeda. Sekelompok diantara mereka mendapat latihan pagi-pagi sekali. Sekelompok di sore hari dan yang sekelompok lagi menjelang malam.

“Kami akan berlatih setiap hari” berkata anak-anak muda itu.

“Bagus” jawab pemburu yang memberikan latihan kepada mereka, “Tetapi itu berarti aku harus melakukannya tiga kali sehari”

Tetapi tubuhmu sudah terlatih. Kau tidak akan menjadi letih karenanya” jawab anak-anak muda Lumban Wetan.

“Jadi kapan kesempatan berburu?” bertanya pemburu itu.

“ Malam hari” jawab seorang anak muda.

Tetapi menjelang dini hari aku akan tergesa-gesa kembali karena aku harus melatih kalian yang termasuk kelompok pertama” jawab pemburu itu.

“Tidak apa-apa” desis seorang anak muda yang lain, “ biarlah kau tidak mendapat binatang buruan. Tetapi kau sudah berbuat baik dan memberikan jasa kepadaku”

Pemburu itu tertawa. Tetapi Ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan melatih kalian setiap hari. Tetapi setiap pekan, aku akan beristirahat satu hari. Hari itu akan dapat aku pergunakan untuk berburu, atau melakukan apa saja.”

“Baiklah. Yang sehari itu akan kami pergunakan untuk berlatih diantara sesama kami” jawab anak-anak muda itu.

Pemburu itu tersenyum. Katanya, “Terserahlah. Tetapi kenapa kalian jadi demikian tergesa-gesa”

“Anak-anak Lumban Kulon sudah mulai lebih dahulu” jawab anak-anak Lumban-Wetan itu”

“Kenapa kalian harus berpacu?” pemburu itu bertanya pula.

“Sikap mereka kurang baik menurut pendapat kami” jawab anak-anak Lumban Wetan.

“Menurut penilaian, kalian. Tetapi menurut penilaian anak-anak muda Lumban Kulon, kelakuan kalianlah yang kurang balik” jawab pemburu itu.

“Tetapi kami tidak akan membiarkan diri kami merah hitam dipukuli oleh anak-anak Lumban Kulon” jawab anak-anak Lumban Wetan itu.

Pemburu itu tersenyum Katanya, “Baiklah. Baiklah. Tetapi aku mohon kalian bersungguh-sungguh. Dengan demikian selisih kalian dengan sepuluh kawan kalian itu tidak akan terlalu jauh. Namun yang sepuluh orang itu kelak akan menjadi pemimpin kelompok bagi para pengawal Kabuyutan Lumban Wetan. Bukankah kesepuluh orang itu berasal dari beberapa padukuhan”

“Ya” sahut anak-anak muda Lumban Wetan, “Kami benar-benar akan bersungguh-sungguh”

Demikianlah seperti yang dikatakan, maka anak-anak Lumban Wetan itu pun telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Seakan-akan mereka sama sekali tidak mengenal lelah. Yang berlatih di pagi hari, rasa-rasanya tidak ingin berhenti, meskipun panas matahari telah terasa menyengat tubuh mereka yang berkeringat. Sementara yang sore hari masih juga segan meninggalkan tempat mereka berlatih, sementara mereka yang berlatih dalam kelompok ketiga sudah menunggu. Sehingga dengan demikian maka latihan bagi kelompok ketiga itu justru berlarut-larut sampai menjelang tengah malam.

Dalam pada itu, kesepuluh orang yang langsung di bawah asuhan Semi, berlatih dalam waktu yang justru lebih panjang dan lebih terperinci. Mereka langsung dapat ditilik oleh Semi seorang demi seorang. Semi dapat memperhatikan dan mengamati setiap gerak tangan dan kaki.

Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban Kulon pun akhirnya mengetahui juga bahwa anak-anak Lumban Wetan ternyata telah mendapat seseorang yang bersedia memberikan latihan-latihan kanuragan, seperti yang dilakukan oleh anak-anak Lumban Kulon di bawah asuhan Daruwerdi. Merekapun mendengar bahwa yang memberikan latihan kanuragan bagi anak-anak Lumban Wetan itu adalah dua orang pemburu,

“Apa artinya seorang pemburu dalam olah kanugaran” berkata Daruwerdi ketika seorang anak muda melaporkan kepadanya, apa yang telah mereka ketahui tentang anak-anak muda Lumban Wetan.

“Tetapi nampaknya mereka bersungguh-sungguh” berkata anak-anak Lumban Kulon itu kepada Daruwerdi.

“Jadi apakah maksud kalian. Apakah aku harus menghentikan latihan-latihan itu? Sudah tentu aku tidak berhak melakukannya. Itu adalah urusan anak-anak Lumban Wetan dan pemburu itu” berkata Daruwerdi.

“Jika demikian, kami akan bertindak sekarang. Kami akan memaksa untuk membuka pintu air yang menuangkan air ke tanah persawahan di Lumban. Kulon lebih besar dari pintu air yang mengalirkan air ke Lumban Wetan” berkata Nugata.

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia mempunyai pertimbangan lain. Ia masih menunggu, bahwa pada suatu saat akan datang sekelompok orang-orang tertentu yang akan membawa seorang Pangeran yang ia kehendaki, sementara ia sudah menyediakan sebuah pusaka meskipun bukan yang sebenarnya.

Daruwerdi sendiri berharap, bahwa kekisruhan nilai akan terjadi pada saat-saat ia menerima Pangeran itu, sehingga dengan demikian, maka yang dilakukan itu akan dapat disamarkan dengan peristiwa yang terjadi di Lumban itu sendiri.

Tetapi nampaknya anak-anak Lumban Kulon itu sudah tidak sabar lagi menunggu.

“Daruwerdi” berkata Nugata, “ambillah keputusan”

“Nugata” berkata Daruwerdi, “Kau tidak usah cemas. Sudah aku katakan, apa yang dapat dilakukan oleh dua orang pemburu. Mungkin mereka mampu berburu harimau dengan anak panah atau tombaknya. Tetapi berburu seekor binatang adalah jauh lebih mudah dari berburu seseorang karena seseorang mempunyai pikiran dan kemampuan untuk meningkatkan ilmunya. Sedangkan seekor binatang sama sekali tidak. Jika seorang pemburu sudah dengan tekun mempelajari dan mengamati tabiat seekor binatang maka ia akan dengan mudah untuk mengalahkannya. Sementara seekor binatang yang diamatinya itu, mempunyai tabiat yang menyeluruh bagi binatang sejenis. Dan tidak demikian halnya bagi seseorang”

Nugata mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Aku mengerti. Tetapi aku masih menganggap bahwa kita sebaiknya berbuat lebih cepat. Meskipun kedua pemburu itu tidak memiliki ilmu kanuragan seperti kau, namun mereka akan mampu meningkatkan serba sedikit kemampuan anak-anak Lumban Wetan”

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya. Aku akan menemui kedua pemburu itu. Baru kemudian aku akan mendapat gambaran, apa yang sebaiknya aku lakukan. Jika kedua pemburu itu tidak memiliki ilmu yang pantas dipertimbangkan, maka aku sama sekali tidak akan menghiraukannya. Kehadirannya dapat kita anggap tidak pernah terjadi. Dan anak-anak Lumban Wetan justru akan mendapat ilmu yang sesat, karena ilmu mereka hanyalah pantas diterapkan untuk memburu seekor kelinci, dan sama sekali untuk memburu kalian anak-anak muda Lumban Kulon”

“Tetapi kau harus segera melakukannya” desis Nugata.

“Jangan memerintah begitu” sahut Daruwerdi, “Aku tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan”

Nugata mengerutkan keringnya. Ia menyadari, bahwa ia memang tidak dapat memerintah Daruwerdi. Karena itu, maka katanya, “Bukan maksudku memerintah. Tetapi kecemasanku rasa-rasanya tidak tertahankan lagi. Anak-anak Lumban Wetan seakan-akan dengan sengaja menantang kami”

Daruwerdi tidak menjawab. Ketika kemudian Nugata pergi, ia tidak beranjak dari tempatnya.

Tetapi sebenarnyalah seperti anak-anak Lumban Kulon Daruwerdi pun sebenarnya ingin mengetahui, apa yang telah dilakukan oleh kedua orang pemburu itu. Menurut pendengarannya, pemburu itu memang memiliki kelebihan. Ketika mereka datang, mereka membawa seekor harimau yang dibunuhnya tanpa bekas luka. Kemudian, beberapa hari berselang mereka telah melakukannya dengan cara serupa.

Demikianlah, ketika senja menjelang kelamnya malam, Daruwerdi pergi ke Lumban Wetan. Ia sudah tahu pasti, dimana anak-anak Lumban Wetan berlatih. Iapun mengetahui, bahwa sepuluh orang diantara mereka telah disisihkan untuk mendapat latihan-latihan khusus.

Kesepuluh orang itulah yang lebih menarik bagi Daruwerdi sehingga ia pun pergi kepada mereka, disaat mereka sedang berlatih di pategalan.

Kehadiran Daruwerdi nampaknya telah membuat Semi segan melanjutkan latihan. Karena itu, maka ia pun kemudian berhenti dan mempersilahkannya. Meskipun agak ragu ia bertanya, “Apakah kau yang bernama Daruwerdi?”

“Ya, aku Daruwerdi dari Lumban Kulon” jawab Daruwerdi.

“Marilah. Namamu sudah aku kenal. Dari kejauhan aku memang pernah melihatmu” berkata Semi.

Anak-anak Lumban Wetan yang sedang berlatih itu pun menjadi tegang. Kehadiran Daruwerdi memang sudah diperhitungkan oleh Semi. Bahkan pemburu itu pernah berkata kepada anak-anak Lumban Wetan bahwa pada suatu ketika, mungkin Daruwerdi akan datang untuk berbicara dengan pemburu itu.

Daruwerdi melangkah mendekat. Dipandanginya anak-anak Lamban Wetan yang sudah berlatih. Namun pada gerak-gerak terakhir yang sempat dilihatnya telah membuat hatinya menjadi berdebar-debar.

“Ki Sanak” berkata Daruwerdi, “agaknya kau mempunyai gairah yang sangat besar untuk mengajari anak-anak Lumban Wetan dengan olah kanuragan.

“Bukan aku” jawab Semi, “Tetapi anak-anak Lumban Wetan sendirilah yang mempunyai gairah yang sangat besar. Adalah satu kebetulan bahwa aku terperosok masuk ke Kabuyutan ini selagi aku memerlukan pertolongan mereka menguliti seekor harimau yang dapat aku tangkap di lereng bukit sebelah”

“Mengagumkan” berkata Daruwerdi, “jarang sekali orang yang dapat menangkap seekor harimau tanpa bekas luka”

“Itu sudah kebiasaanku” jawab Semi, “karena itu kulit harimau hasil buruanku harganya tentu lebih mahal dari hasil buruan pemburu-pemburu yang lain, yang hanya membunuh seekor harimau dengan anak panah atau tombak”

Daruwerdi mengerutkan keningnya. Agaknya pemburu ini memang agak sombong.

“Apakah keuntunganmu dengan bersusah payah memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda Lumban Wetan?” bertanya Daruwerdi kemudian.

Semi memandang Daruwerdi dengan heran. Dan tiba-tiba ia pun beritanya pula, “Apa pula keuntungan memberikan latihan-latihan kepada anak-anak Lumban Kulon?”

Daruwerdi yang sudah menduga bahwa pemburu itu akan bertanya demikian segera menjawab, “Ki Sanak, Aku telah melakukannya lebih dahulu atas permintaan anak-anak muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Tetapi anak-anak Lumban Wetan kemudian tidak bersedia lagi untuk datang. Sekarang mereka minta agar kau memberikan latihan-latihan itu justru pada saat anak-anak Lumban Wetan dan Lumban Kulon dalam ketegangan”

Semi tiba-tiba saja tertawa sambil mengangkat wajahnya,. Katanya, “Jangan mengatakan yang tidak sebenarnya. Apa kau kira anak-anak Lumban Wetan ini tidak dapat berbicara tentang hubungan mereka dengan anak-anak Lumban Kulon.

“Apapun yang mereka katakan, bukankah kesediaanmu memberikan latihan-latihan itu memungkinkan meningkatnya permusuhan?” bertanya Daruwerdi.

“Itu tidak adil” jawab Semi, “Jika kau menghentikan latihan-latihan itu sama sekali, maka kau pun telah membantu meredakan permusuhan itu. Tetapi kau tidak melakukannya”

“Ki Sanak” berkata Daruwerdi kemudian, “kedatanganku kemari sekedar untuk berbicara dengan baik mengingat persoalan anak-anak Lumban Kulon dan anak-anak Lumban Wetan. Aku minta kau menghentikan latihan-latihan ini. Aku akan berusaha mencegah anak-anak Lumban Kulon untuk memaksakan kehendaknya atas anak-anak Lumban Wetan?”

“Caranya bukan begitu. Kita bersama-sama berhenti” jawab Semi.

“Apakah kau keras kepala juga seperti anak-anak Lumban Wetan?” bertanya Daruwerdi

“Ya” jawab pemburu, “Aku memang keras kepala. Tetapi aku pun menyadari, bahwa aku harus bertanggung jawab atas sikapku itu”

Daruwerdi mengerutkan keningnya. Pemburu ini memang seorang yang sombong dan tinggi hati. Namun Daruwerdi tidak akan membiarkannya Karena itu, maka katanya” Ki Sanak. Aku beri kesempatan kau selama tiga hari untuk terpikir. Jika dalam waktu tiga hari kau tidak menghentikan latihan-latihan ini, maka jangan menyesal, bahwa aku akan memaksamu. Dengan demikian maka nafsu anak-anak Lumban Kulon, untuk segera bertindak dapat aku kekang”

“Caramu berpikir memang aneh Ki Sanak” jawab Semi, “Mungkin kau sudah terlalu lama tinggal di Kabuyutan kecil ini sehingga kau tidak mampu lagi membuat perhitungan-perhitungan yang wajar dan tidak berat sebelah”

“Apapun yang kau katakan, aku memberimu waktu tiga hari” berkata Daruwerdi, “setelah itu, aku akan menentukan tindakan apakah yang akan aku lakukan atas kalian dan anak-anak muda Lumban Wetan. Aku tahu bahwa kawanmu itu telah memberikan latihan-latihan pula kepada lingkungan yang lebih luas, meskipun tidak mendalam seperti yang kau lakukan”

“Aku tidak menghiraukan sama sekali” berkata pemburu itu, “tiga atau ampat berapa hari pun yang akan kau sebut”

Wajah Daruwerdi menjadi merah. Ia sadar, bahwa pemburu itu benar-benar tidak akan dapat diancamnya. Agaknya pemburu itu benar-benar bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. Hampir saja Daruwerdi kehilangan pengamatan diri. Di Lumban ia jarang sekali mendengar, seseorang telah menentang kehendaknya. Tiba-tiba seorang pemburu kini seakan-akan dengan sengaja telah menantangnya.

Namun ternyata bahwa Daruwerdi masih dapat mengendalikan dirinya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku akan menunggu sampai tiga hati. Sebaiknya kau pertimbangkan dengan bati yang bening. Kau memang belum mengenal aku dengan baik, sehingga kau berani menentang aku tanpa ragu”

“Siapapun kau” jawab Semi, “Aku sudah terlalu biasa meng-hadapi siapapun juga. Bahkan seekor harimau yang paling besar sekalipun. Apa lagi kau”

“Itulah kesalahanmu” jawab Daruwerdi, “Kau anggap aku tidak lebih dari seekor harimau. Kau lupa, bahwa seekor harimau tidak akan mampu mempelajari oleh kanuragan. Ia hanya mampu mempergunakan kekuatan wadagnya sebagaimana ia mendapatkannya dari alam. Tetapi aku mampu mengembangkan kemampuan yang aku terima dari alam, dan lebih dari itu, aku mempunyai otak seperti juga kau dan setiap orang. Tetapi agaknya kau tidak sempat mempergunakan otakmu. Nampaknya kau pun sekedar bertumpu kepada pandangan yang bodoh itu tanpa mempertimbangkan kemungkinan yang berkembang pada dirimu sendiri”

Darah Semi mulai menjadi panas. Tetapi ia sadar, bahwa ia memang sedang memancing agar Daruwerdi menjadi marah. Ia sadar, bahwa Daruwerdi tentu ingin menjajagi, apakah orang yang memberikan latihan kanuragan kepada anak-anak Lamban Wetan itu benar-benar memiliki ilmu yang memadai.

“Mudah-mudahan peristiwa ini tidak mengganggu tugas-tugasku selanjutnya yang juga akan menyangkut Daruwerdi” berkata Semi di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ia menjawab, “Daruwerdi. Sebaiknya kau kembali ke daerah Kabuyutanmu. Kau boleh melakukan apa saja sesuai dengan keinginan dan kemauanmu. Aku pun boleh melakukan apa saja yang aku kehendaki disini tanpa mengganggu kau dan anak-anak muda Lumban Kulon”

Daruwerdi menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih berusaha menahan diri Namun agar ia tidak kehilangan keseimbangan, maka iapun menggeram, “Kau benar-benar gila. Aku akan pergi. Dan aku akan kembali lagi dalam tiga hari”

Daruwerdi tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan pategalan itu.

Sementara itu langit sudah menjadi semakin kelam. Demikian Daruwerdi hilang dibalik keremangan ujung malam, kesepuluh anak-anak muda Lumban Wetan itupun segera mengerumuni Semi.

“Agaknya ia benar-benar marah” desis salah seorang dari anak-anak muda Lumban Wetan itu.

“Ya” jawab Semi, “tetapi biar sajalah. Aku memang harus mempertanggung jawabkan, apa yang aku lakukan ini kepada siapapun”

Seorang anak muda yang bertubuh kecil, tetapi memiliki kecepatan gerak yang cukup, telah berkata, “Bukan maksud kami disini membuat kesulitan bagimu”

“Aku sudah memperhitungkan bahwa hal ini akan terjadi” berkata Semi

“Tetapi kau masih mempunyai waktu untuk mempertimbang-kan” desis anak muda bertubuh kecil itu.

“Maksudmu, agar aku. menarik diri dari kesanggupan ini?” bertanya Semi.

Anak-anak muda Lumban itu tidak menjawab.

“Terima kasih kawan-kawan” desis Semi kemudian, “aku mengerti bahwa kalian bermaksud baik. Kalian tidak mau membuat aku mengalami kesulitan karena sikap Daruwerdi yang benar-benar telah berpihak itu. Jika kemudian terjadi sesuatu, baik akan diriku, kawanku berburu itu, atau apapun, bukan kalian yang bersalah. Aku telah cukup dewasa untuk menentukan sikapku sendiri”

Anak-anak Lumban Wetan itu tidak menyahut lagi. Merekapun mengerti, bahwa pemburu ini akan dapat tersinggung jika mereka seakan-akan mencemaskan nasibnya, jika ia harus berhadapan dengan Daruwerdi.

“Kita lanjutkan latihan ini” berkata Semi tiba-tiba, “Apakah kalian telah lelah? Apa kalian yang sebenarnya cemas menghadapi Daruwerdi yang marah itu? Aku pun dapat marah seperti Daruwerdi”

Anak-anak Lumban Wetan itu menjadi ragu-ragu. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menghambat mereka setelah kedatangan Daruwerdi.

Tetapi ketika mereka sudah mulai dengan gerak-gerak yang keras dan berat, maka lambat laun, perhatian mereka pun sepenuhnya telah terampas oleh pemusatan pikiran pada latihan itu, sehingga mereka pun telah melupakan, bahwa Daruwerdi baru saja datang ke tempat latihan itu.

Ternyata kedatangan Daruwerdi telah mendorong pemburu itu untuk bekerja lebih keras. Jika sebelumnya, ia selalu berusaha untuk menahan agar anak-anak Lumban Wetan itu tidak terlalu letih dalam latihan kanuragan, sehingga dapat mengganggu kerja mereka di sawah dan ladang masing-masing, maka yang dilakukan kemudian adalah justru sebaliknya. Pemburu itu telah menempa anak-anak muda Lumban Wetan itu sehingga mereka merasa menjadi sangat letih. Kaki-kaki mereka menjadi berat dan keringat bagaikan telah terperas habis.

Baru ketika anak-anak Lumban Wetan itu mengeluh, pemburu itu berkata, “Kita akan beristirahat. Besok kita akan berlatih lebih baik lagi. Aku akan menunggu sampai tiga hari itu. Dan akui akan menunjukkan kepada kalian, bahwa kalian tidak akan kehilangan kesempatan untuk selanjutnya. Aku akan tetap berada disini”

Anak-anak muda Lamban Wetan tidak berani lagi mengatakan sesuatu kepada pemburu itu. Meskipun demikian, mereka benar-benar merasa cemas. Mereka bukan saja berpikir tentang hubungan mereka yang buruk dengan anak-anak muda Lumban Kulon, tetapi ia telah melibatkan seseorang yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang persoalan itu.

“Jika terjadi sesuatu dengan kedua pemburu itu, justru karena Daruwerdi, bukankah itu kesalahan kita?” bertanya mereka satu sama lain.

Meskipun demikian, anak-anak Lumban Wetan itu tidak dapat menyampaikan kecemasannya itu. Mereka hanya dapat memperbincangkan diantara mereka. Lebih-lebih anak-anak muda yang termasuk sepuluh anak muda terbaik yang mendapat tempaan khusus itu.

Jlitheng yang akhirnya mendengar juga peristiwa itu, tidak dapat mengatakan apapun juga. Ia hanya mengangguk-angguk dan sekali-kali menggeleng diantara kawan-kawannya. Apalagi ia tidak melihat sendiri apa yang terjadi, karena ia berada diantara anak-anak muda Lumban Wetan yang berlatih bersama-sama, pada giliran ketiga.

Namun diluar pengetahuan kawan-kawannya. Jlitheng telah datang kepada Semi dan kawannya di banjar. Seolah-olah ia bertemu dengan kedua pemburu itu kebetulan saja tanpa maksud apapun juga. Namun dalam pada itu. Semi lelah berbincang panjang dengan Jlitheng mengenai Daruwerdi.

“Apakah perkelahian yang mungkin sekali tidak akan mengganggu” bertanya Semi.

“Dalam kedudukanmu sebagai pemburu, aku kira tidak akan ada persoalan yang bersangkut paut dengan penculikan Pangeran itu” sahut Jlitheng.

“Aku tidak tabu, kenapa sampai saat ini orang-orang Sanggar Gading masih belum sampai di daerah Sepasang Bukit Mati ini” gumam Semi

“Dapat dimengerti” jawab Jlitheng, “Mereka memerlukan persiapan yang khusus. Mereka tidak saja berhadapan dengan Daruwerdi disini, tetapi mereka harus dapat bertahan jika orang-orang Pusparuri atau pihak manapun juga akan mengganggu mereka”

“Tetapi Jlitheng” berkata Semi, “bagaimana jika kami, maksudku aku dan Daruwerdi tidak lagi dapat mengekang diri dalam perkelahian itu sehingga perkelahian itu akan meningkat sampai batas yang paling pahit. Bukan aku cemas menghadapinya, tetapi apakah hal itu tidak akan merusak semua usaha yang telah dilakukan sampai saat terakhir olehmu sendiri dan oleh kakang Rahu”

“Kawanmu itu akan dapat menjadi saksi yang berdiri diluar arena dan tidak terlibat dalam luapan perasaan. Ia harus dapat bertindak tepat pada waktunya dan ia tentu akan dapat menentukan keseimbangan dari pertempuran itu” berkata Jlitheng.

Kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ia merasa, tugas itu adalah tugas yang cukup berat baginya, karena iapun akan dapat dijebak oleh panasnya darah yang mendidih di dalami jantungnya menghadapi anak muda yang bernama Daruwerdi itu.

“Kita akan mendapat keuntungan dengan peristiwa itu” berkata Jlitheng, “Kita akan dapat menjajagi kemampuan Daruwerdi”

Semi menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Kau jugalah yang akan mendapatkan keuntungan itu, He, kenapa tidak kau tantang saja anak itu berkelahi”

Jlitheng tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Sikap itulah yang kemudian menentukan sikap Semi selanjutnya. Ia tidak akan pergi dari Lumban, dan ia tidak akan menghentikan latihan-latihan yang diselenggarakannya

Seperti yang pernah dikatakan Semi kepada Daruwerdi dihadapan kesepuluh anak-anak Lumban, maka ia benar-benar bertekad untuk bertahan. Ia telah melakukan seperti yang dikatakannya. Bahkan ia telah meningkatkan latihan-latihan yang diberikan menjelang hari ketiga seperti yang dikatakan oleh Daruwerdi.

Ternyata usaha Semi tidak sia-sia. Sepuluh orang yang dipilihnya itu meningkat dengan cepat. Melampaui kawan-kawannya yang lain. Bahkan karena latihan yang khusus, maka kesepuluh orang itu telah berhasil menyusul dan bahkan melampaui kemampuan anak-anak muda Lumban Kulon yang tidak pernah terhenti, tetapi yang berlatih pada saat yang lebih jarang dari anak-anak muda Lumban Wetan.

Pada hari yang ketiga, seperti yang diduga oleh Semi, maka Daruwerdi benar-benar telah datang kepadanya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Jlitheng, agar disamping kedua orang itu masih ada orang lain yang agak terpisah dari persoalannya, sehingga masih mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.

Karena itu pada hari ketiga, kawan Semi tidak berada diantara anak-anak Lumban Wetan yang lain, tetapi ia Bersama-sama dengan Semi berada di pategalan.

“Kau benar-benar keras kepala” geram Daruwerdi ketika ia sudah berada di pategalan itu.

“Sudah aku katakan” desis Semi, “Aku tidak akan meninggalkan Kabuyutan ini jika itu bukan karena kehendakku sendiri”

“Kau bawa kawanmu kemari?” bertanya Daruwerdi, Lalu, “Kau sangka dengan demikian aku akan menarik ancamanku”

“Aku bawa ia untuk menjadi saksi. Aku sama sekali tidak berniat untuk berbuat licik. Kita sama-sama laki-laki yang mempunyai harga diri” jawab Semi.

Daruwerdi mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa sikap pemburu itu justru sedemikian kerasnya. Tetapi ia sama sekali tidak ingin menarik apa yang telah dikatakannya. Bahkan seandainya kedua pemburu itu berbuat curang, iapun tidak akan ingkar. Ia akan menyelesaikan keduanya dan mengusir mereka dari tempat itu. Selain keduanya lelah meningkatkan ketegangan, keduanya juga akan dapat mengganggu usahanya untuk memecahkan masalah pusaka yang tersimpan di daerah Sepasang Bukit Mati itu.

Karena itu, maka tekad Daruwerdi pun menjadi bulat. Dengan lantang ia berkata, “Kau benar-benar sudah menantang aku”

“Kau lah yang menantang aku, karena kau telah mencampuri urusanku dengan anak-anak muda Lumban Wetan. Mereka membantu aku jika aku mendapatkan binatang buruan. Apa salahnya jika aku memberikan imbalan yang berarti bagi mereka, tetapi tidak mengurangi milikku sama sekali”

“Persetan” bentak Daruwerdi, “Jangan membual. Tetapi jangan menyesal jika langkahku akan terlalu panjang”

Semi pun kemudian mempersiapkan diri. Kepada anak-anak Lumban Wetan ia berkata, “Kalian pun dapat menjadi saksi, apakah ada kelebihan anak muda ini dari seorang pemburu yang telah berhasil menangkap seekor harimau hanya dengan tangannya”

Wajah Daruwerdi yang membara, rasa-rasanya bagaikan menyala. Ia tidak dapat menahan diri lagi. Pemburu itu terlalu sombong, seolah-olah ia adalah orang yang paling berarti di muka bumi

Karena itu, maka Daruwerdi pun berkata, “Kita akan berhadapan dengan jantan. Marilah. Jika kemudian ternyata kau menyesal bertempur dengan jantan, kau dapat mengajak kawanmu dan anak-anak Lumban Wetan untuk mengeroyokku”

Tetapi yang terdengar adalah jawaban yang sangat menyakitkan bati. Pemburu itu justru tertawa sambil berkata, “Apakah kau sering melakukannya?”

Jawaban itu membuat Daruwerdi tidak dapat menahan bati lagi. Dengan gigi gemeretak ia bergeser mendekat. Sementara itu, Semi yang melihat bahwa Daruwerdi benar-benar akan mulai, telah bergeser pula.

Kawan Semi berdiri termangu-mangu beberapa langkah. Dengan tegang ia mengikuti perkembangan keadaan, sementara sepuluh orang anak-anak muda Lumban Wetan menjadi sangat gelisah. Tetapi mereka tidak meninggalkan tempat itu, karena ada sesuatu yang mengikat mereka Betapapun juga ada keinginan mereka untuk melihat, siapakah yang lebih kuat diantara kedua orang yang masih sama-sama muda itu.

Sementara itu, ternyata bahwa diluar pengamatan orang-orang yang sedang memusatkan perhatiannya kepada orang-orang yang sedang bertengkar itu, dua orang dengan mengendap-endap telah mendekati arena pertempuran. Mereka berusaha untuk dapat melihat pertempuran itu dari sela-sela anak-anak Lumban Wetan yang berdiri mematung melihat kedua anak-anak muda yang sudah siap untuk mulai dengan pertempuran yang garang.

Dengan hati-hati keduanya bergeser semakin dekat. Ketika Daruwerdi meloncat menyerang, maka kedua orang itu pun tertegun ditempatnya.

Seorang diantaranya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun, karena suaranya akan dapat menarik perhatian salah seorang dari mereka yang sedang dicengkam ketegangan itu.

Sebenarnyalah bahwa Jlitheng telah menyampaikan persoalan itu kepada Kiai Kanthi. Yang didengarnya dari Semi, telah dikatakannya kepada orang itu. Dan mereka pun sependapat, bahwa Daruwerdi tentu tidak hanya sekedar menakut-nakuti saja. Ia akan datang tepat pada hari yang disebutnya.

Karena itu, maka ketika Jlitheng dan Kiai Kanthi datang ke tempat itu maka mereka benar-benar menyaksikan kedua anak muda itu berhadapan dalam perang tanding.

Dengan tegang, maka Jlitheng pun mengikuti perkelahian yang kemudian telah menggetarkan pategalan itu. Serangan Daruwerdi datang seperti badai, mengguncang pepohonan dan menghentak bukit-bukit batu.

Namun sebenarnya Semi telah melawannya bagaikan angin prahara yang bergulung-gulung mengguncang lautan dan mendorong ombak berderu menghantam batu karang.

Benturan ilmu yang dahsyat dilambari dengan tenaga yang kuat dari anak-anak muda yang sedang marah, telah membuat pertempuran itu menjadi semakin sengit.

Jlitheng memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdegup semakin keras. Sementara Kiai Kanthi benar-benar telah terpukau oleh kemampuan kedua anak muda itu.

Ternyata Daruwerdi adalah anak muda yang memiliki ketangkasan dan ketrampilan mempergunakan seluruh anggauta badannya. Kaki, tangan jari-jari, siku dan lututnya. Ia menyerang dengan tiba-tiba dan melontar menghindar dengan cepat.

Namun dalam pada itu, Semi yang bertubuh kekar dan kuat itu bagaikan tonggak yang tidak tergoyahkan. Dengan gerak dan geseran kaki, ia bertahan menghadapi kecepatan serangan Daruwerdi. Meskipun geraknya satu-satu, tetapi ia berdiri menghadap kemana saja arah serangan lawannya datang.

Dengan demikian, ia mampu bertahan dengan kelebihan yang ada padanya. Kadang-kadang Semi sama sekali tidak ingin menghindari serangan yang meluncur ke arahnya. Tetapi ia dengan membenturkan kekuatan raksasanya, sehingga dengan demikian, ia langsung dapat mengetahui, tataran kekuatan lawannya pada saat-saat tertentu.

Betapapun kuat daya tahan tubuhnya, namun karena serangan Daruwerdi yang datang beruntun, semakin terasa, bahwa sentuhan-sentuhan serangan itu telah mulai hinggap di tubuhnya. Bahkan semakin lama terasa sentuhan-sentuhan itu membuat kulit dagingnya menjadi sakit.

Tetapi dalam pada itu, Daruwerdi yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itupun mengumpat di dalam hati. Seakan-akan Semi yang bertenaga raksasa itu, mampu menahan rasa sakit yang betapapun juga menyengat badannya. Bahkan Daruwerdi mulai, bertanya kepada diri sendiri, “Apakah anak ini mempunyai aji Lembu Sekilan?”

Namun ketika pada suatu saat ia sempat mendengar pemburu itu berdesis, maka Daruwerdi pun yakin, bahwa lawannya tidak mempunyai aji Lembu Sekilan, atau Tameng Waja atau ilmu kebal. Lambat laun Daruwerdi mengerti, bahwa lawannya itupun telah didera oleh perasaan sakit yang semakin tajam.

Meskipun demikian, perlawanan Semi sama sekali tidak mengendor. Bahkan tenaganya seakan-akan menjadi semakin kuat, meskipun sekali-kali ia harus berdesis menahan sakit.

Dalam pada itu, Daruwerdi yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu merasa bahwa ia mulai berhasil membuat lawannya sakit. Tetapi iapun tidak dapat ingkar, bahwa tenaganya yang terperas itu, semakin, lama menjadi semakin susut. Karena itu, ia harus memperhitungkan, bahwa ia harus dapat melumpuhkan lawannya lebih dahulu sebelum tenaganya sendiri terperas habis.

Namun dalam pada itu, Semi pun telah membuat perhitungan yang mapan pula. Ia tidak mau dihancurkan, bahkan ia harus memancing Daruwerdi agar kehabisan tenaga dan tidak mampu bergerak lagi.

Karena itulah, maka Semi pun kemudian bertempur lebih berhati-hati. Ia masih tetap berusaha membenturkan kekuatannya. Tetapi dengan lebih mapan dengan menghindarkan bagian tubuhnya yang akan dapat disakiti oleh lawannya

Dalam pada itu, Kiai Kanthi dan Jlitheng pun memperhatikan perkelahian yang menjadi semakin sengit itu dengan nafas yang tertahan-tahan. Bahkan iapun beringsut setapak diluar sadarnya. Untunglah bahwa Kiai Kanthi sempat menggamitnya, sehingga Jlitheng tidak terdorong mendekati arena.

Sebenarnyalah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Meskipun Daruwerdi nampak mulai dipengaruhi oleh nafasnya yang terengah-engah, sementara Semi pun kadang-kadang telah menyeringai menahan sakit, namun keduanya masih bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya

Semi yang mulai dijalari perasaan pedih itupun mulai memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain. Ia merasa perlu untuk menyerang lebih banyak, agar iapun mempunyai kesempatan untuk menyakiti lawannya, meskipun dengan demikian iapun akan memeras tenaganya.

Dengan demikian, maka Kiai Kanthi dan Jlitheng pun kemudian melihat perubahan sikap Semi, meskipun tidak dengan tiba-tiba. Sedikit demi sedikit Semi merubah cara bagaimana ia harus menghadapi Daruwerdi yang sudah mulai lelah itu. Sedikit demi sedikit, Semi mulai melangkah dan meloncat menyerang dengan sengitnya. Ia tidak lagi berkisar dan bergeser dengan sebelah kaki. Tetapi ia mulai menyerang dengan langkah-langkah panjang dengan menghentak.

Daruwerdi melihat perubahan sikap itu. Tetapi ia tidak mau menjadi sasaran serangan lawannya. Meskipun nafasnya mulai mengalir semakin cepat, tetapi ia masih tetap mampu bergerak cepat. Karena itu, maka ia masih mampu memotong loncatan-loncatan panjang lawannya.

Tetapi Semi tidak menghentikan serangannya. Jika ia gagal, maka iapun mulai dengan serangan-serangan baru. Hanya kadang-kadang ia memang harus melangkah surut, jika Daruwerdi mendahuluinya menyerang.

Namun kadang-kadang Daruwerdi tidak memberinya kesempatan. Ketika serangan semi. dapat dihindarinya, maka Semi telah bersiap untuk menyerangnya dengan hentakkan kaki. Tetapi demikian Semi mempersiapkan dirinya, Daruwerdi lah yang justru meloncat menyerangnya. Semi yang terkejut itu sempat menghindar. Dengan satu loncatan panjang ia berusaha mengambil jarak. Sehingga ia sempat mempersiapkan diri menghadapi saat-saat berikutnya

Sebenarnyalah, Daruwerdi telah meluncur dengan kakinya menyerang lambung. Namun Semi tidak lagi sempat menghindar. Tetapi iapun sadar, bahwa serangan itu akan dapat menyakitinya Jika kaki Daruwerdi mengenai lambungnya, maka perutnya tentu akan menjadi mual. Bahkan mungkin matanya pun akan menjadi berkunang-kunang, sehingga lawannya akan sempat menyerangnya lebih sengit lagi.

Karena itu, sekali lagi Semi harus menunjukkan kemampuan tenaganya. Meskipun tidak menghindar, tetapi ia memiringkan tubuhnya. Dengan sedikit merendah ia menahan serangan lawannya dengan sikunya.

Sekali lagi terjadi benturan. Daruwerdi merasa, betapa serangannya membentur kekuatan yang luar biasa, sehingga ia justru terdorong selangkah surut

Dalam pada itu, Semi tidak mau kehilangan kesempatan. Meskipun siku dan lengannya merasa betapa sakitnya hentakkan kekuatan Daruwerdi, namun sambil menahan perasaan sakit itu, Semilah yang kemudian meloncat menyerang Daruwerdi. Tidak terlalu keras, karena serangan itu datang dengan tergesa-gesa, tetapi cukup mengejutkan, sehingga Daruwerdi lah yang kemudian dengan tergesa-gesa meloncat ke samping.

Kesempatan itu kemudian dipergunakan oleh Semi sebaik-baiknya. Ia sempat mengerahkan kekuatannya, sehingga ayunan serangan berikutnya merupakan serangan yang cepat dan kuat, dilambari dengan kekuatan cadangannya.

Daruwerdi sekali lagi terkejut melihat serangan itu. Semi yang sejak semula tidak banyak menyerang, tiba-tiba menjadi garang. Karena itu, maka Daruwerdi lah yang kemudian berusaha bertahan.

Dengan kaki yang bagaikan menghunjam ke dalam bumi Daruwerdi menunggu benturan yang dahsyat, dengan sedikit merendah. Seperti juga lawannya maka iapun telah mengerahkan segenap tenaga cadangan.

Sebenarnyalah yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat kuat antara dua kekuatan yang dilambari ilmu yang tinggi. Benturan yang bukan saja mendebarkan jantung kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun Kiai Kanthi. Jlitheng, kawan Semi dan anak-anak Lumban Wetan pun menahan nafasnya.

Ternyata keduanya telah terlempar beberapa langkahi Semi yang bagaikan membentur dinding baja itu terlempar surut beberapa langkah. Bahkan iapun telah kehilangan keseimbangan, dan terbanting jatuh. Kekuatan yang bagaikan membalik menghantam dirinya sendiri itu telah membuat dadanya menjadi sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat.

Sementara itu. Daruwerdi yang bertahan dengan segenap kemampuannya, ternyata telah terlempar pula. Rasa-rasanya ia telah terayun tanpa pegangan dan jatuh berguling ditanak Kepalanya menjadi pening, dan langit menjadi bagaikan berputar. Bintang-bintang yang bermunculan di langit mengabur dan seakan-akan hilang satu demi satu. Hari yang semakin malam itupun rasa-rasanya telah menjadi hitam pekat.

Sejenak semua orang diam mematung. Namun sejenak kemudian, kawan pemburu yang berdiri menjadi saksi dari benturan kekuatan itu telah melangkah maju. Kemudian dengan hati-hati ia berjongkok disamping Semi dan kemudian mendekati Daruwerdi.

“Keduanya pingsan” desisnya.

Anak-anak Lumban itupun kemudian berloncatan mendekat. Tetapi mereka lebih berani mendekati tubuh Semi yang terbujur diam.

“Apakah ada air didekat tempat ini?” bertanya pemburu yang seorang itu.

“Ada” jawab salah seorang dari anak-anak Lumban Wetan itu, “di pinggir pategalan ini ada sumur”

“Ambillah air. Biarlah keduanya menjadi sadar” desis pemburu itu.

Dua orang dari anak-anak Lumban Wetan itupun kemudian berlari-lari. Mereka mengambil air dengan timba upih dan membawanya kembali ke tempat dua orang pingsan itu

Dengan hati-hati pemburu itu menitikkan beberapa titik air di bibir Semi dan Daruwerdi. Untuk beberapa saat, ia menunggu. Namun kemudian silirnya angin dan segarnya titik air, membuat keduanya perlahan-lahan menyadari dari masing-masing.

Ketika keduanya kemudian bangkit dan mengenang seluruhnya apa yang telah terjadi, maka rasanya kekuatan di dalam tubuh mereka masing-masing telah tumbuh kembali. Dengan serta merta keduanya berusaha untuk tegak berdiri betapapun letih dan lemahnya.

Namun rasa-rasanya, kekuatan mereka itupun dengan cepatnya telah larut kembali. Tulang-tulang mereka bagaikan terlepas dari sendi-sendinya. Sehingga hampir saja keduanya terjatuh lagi. Hanya dengan mengerahkan sisa tenaga mereka sajalah, maka akhirnya mereka dapat bertahan untuk tetap berdiri, betapapun letihnya. Seolah-olah jika angin yang agak kencang menyentuhnya, mereka tidak akan dapat lagi bertahan untuk tetap berdiri.

Dalam pada itu, pemburu yang seorang, yang tidak terlibat dalam perkelahian itu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Inilah akhir dari perkelahian kalian. Aku menjadi saksi bahwa kalian-berdua tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi”

“Persetan” geram. Daruwerdi, “Aku akan membunuhnya”

“Lakukan jika kau mampu” sahut Semi sambil menggertakkan giginya.

Tetapi pemburu yang seorang itu pun berkata, “Kalian adalah laki-laki jantan. Apakah kalian tidak dapat melihat kenyataan ini?”

Daruwerdi masih tetap berdiri tegak. Tetapi nampaknya ia mulai memikirkan keadaannya. Ia mulai melihat keadaan lawannya. Sebenarnyalah bahwa keduanya tentu tidak akan mampu lagi berbuat banyak. Keduanya hanya akan dapat melangkah satu-satu. Jika keduanya memaksa untuk menyerang, maka mereka tentu akan jatuh, tersungkur tanpa berhasil menyentuh lawannya, meskipun lawannya tidak dapat lagi untuk mengelak.

Karena itu, maka keduanya masih tetap berdiri tanpa berbuat sesuatu.

“Kenapa kalian diam saja? Perkelahian ini harus diakhiri sampai sekian. Kita semuanya harus mengakui apa yang telah terjadi disini sebagai satu kenyataan” berkata pemburu yang seorang itu pula.

Daruwerdi yang kemudian bergeser sambil menggeram, “Jangan menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai”

“Tidak. Selama kau menganggap bahwa persoalan kita belum selesai, maka selama itu pula aku juga menganggap bahwa persoalan diantara kita belum selesai” jawab Semi.

Daruwerdi tidak berbicara lebih panjang lagi. Bagaimanapun juga ia menghargai sikap kedua pemburu itu. Ternyata keduanya tidak merendahkan diri dan bertempur berpasangan, meskipun ia sudah menantangnya.

Karena itu, maka Daruwerdi menghargai sikap itu sebagai sikap seorang laki-laki Dengan demikian, maka iapun merasa, bahwa jika ia meninggalkan arena itu, maka ia pun telah bersikap sebagaimana sikap lawannya yang dapat melihat kenyataan.

Tertatih-tatih Daruwerdi pun kemudian meninggalkan pategalan itu. Sekilas ia masih sempat berpaling, Ia melihat lawannya masih tetap berdiri di tempatnya, sementara anak-anak muda Lumban Wetan pun seolah-olah masih membeku di tempatnya.

Baru ketika Daruwerdi telah hilang di dalam gelapnya malam yang menjadi semakin dalam, maka anak-anak muda Lumban Wetan itupun mulai bergeser mendekati Semi yang masih berdiri dengan letih,

“Bagaimana?” seorang anak muda Lumban Wetan bertanya,

“Anak itu memang luar biasa” desis Semi. Namun kemudian, “Tetapi seperti kalian lihat, aku pun masih tetap tegak”

Anak-anak muda Lumban Wetan itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa Daruwerdi memang seorang anak muda yang pilih tanding. Namun ternyata ia tidak dapat mengalahkan salah seorang dari kedua pemburu itu.

“Kita kembali sekarang” berkata Semi, “Tetapi sejak besok, latihan-latihan akan meningkat. Siapa tahu, bahwa Daruwerdi telah dibakar oleh dendam yang tidak terkendalikan, sehingga ia dengan segera dan tergesa-gesa akan menggerakkan anak-anak muda Lumban Kulon, Tentu ada saja persoalan yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memulai dengan permusuhan. Bahkan kekerasan”

Anak-anak muda Lumban Wetan itu menjadi berdebar-debar. Mereka pun sependapat bahwa kemarahan Daruwerdi mungkin akan mempercepat pecahnya kekerasan antara anak-anak muda Lumban Wetan dan Lumban Kulon.

Namun demikian, anak-anak Lumban Wetan yang berada di pategalan itupun bertekad untuk mempertahankan kepentingan padukuhan mereka. Mereka tidak akan menerima perlakukan yang tidak adil dari anak-anak Lumban Kulon atas air yang mengalir di sungai kecil itu. Apalagi satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa anak-anak Lumban Wetan lah yang lebih banyak berbuat atas air itu terutama Jlitheng.

Karena itu, maka dengan sungguh-sungguh anak-anak Lumban Wetan menyatakan kesediaan mereka untuk berlatih lebih tekun. Apalagi kesepuluh orang itu merasa, bahwa mereka adalah orang-orang terpilih yang akan berada di paling depan dari kawan-kawannya.

Demikianlah, sebenarnyalah bahwa Daruwerdi yang marah itu tidak dapat mengambil sikap lain kecuali memaksa anak-anak Lumban Wetan untuk memenuhi keinginan anak-anak Lumban Kulon. Bahwa ia tidak dapat mengalahkan pemburu itu dihadapan kesaksian anak-anak Lumban Wetan, telah mendorongnya untuk mencari imbangan peristiwa yang dapat menekan kebanggaan anak-anak Lumban Wetan.

“Anak-anak Lumban Kulon telah lama berlatih” berkata Daruwerdi. Meskipun Daruwerdi tidak dapat ingkar, bahwa sepuluh orang yang mengadakan latihan khusus itu memiliki kelebihan dari anak-anak muda Lumban Wetan yang lain. bahkan mungkin juga atas anak-anak muda Lumban Kulon. Namun jumlah mereka terlalu sedikit untuk dapat menentukan keseimbangan antara kekuatan anak-anak Lumban Kulon dan anak-anak Lumban Wetan.

Namun dalam pada itu, Daruwerdi seakan-akan tidak memperhitungkan sama sekali anak-anak Lumban Wetan yang lain, yang serba sedikit pernah juga berlatih bersama anak-anak muda Lumban Kulon, yang kemudian setelah terhenti beberapa saat karena tingkah anak-anak Lumban Kulon, mereka telah mulai lagi di bawah ajaran pemburu yang ternyata juga memiliki kemampuan yang cukup, yang ternyata salah seorang dari mereka telah dapat mengimbangi kemampuan Daruwerdi,

Demikianlah, maka di pagi hari berikutnya, Daruwerdi telah mulai dengan rencananya. Ia telah menemui Nugata yang memang telah dijangkiti oleh satu keinginan untuk memaksa anak-anak Lumban Wetan menuruti keinginan anak-anak muda Lumban Kulon, agar pintu air yang mengalir ke Lumban Kulon dibuat lebih lebar dari pintu air yang mengaliri parit-parit di Lumban Wetan.

“Saatnya sudah tiba” berkata Daruwerdi tanpa mengatakan bahwa pemburu yang berada di Lumban Wetan dapat mengimbangi kemampuannya.

“Kami sudah siap” sahut Nugata, “kapan kita lakukan hal itu?”

“Terserah kepada kalian. Semakin cepat, semakin baik” jawab Daruwerdi.

“Kau yang akan memimpinnya?” bertanya Nugata pula.

Tetapi Daruwerdi menggeleng. Jawabnya, “Tentu bukan aku”

“Lalu siapa?” bertanya Nugata dengan heran.

“Kalianlah yang melakukan. Bukan aku. Aku hanya akan mengawasi saja. Dengan demikian, kedua pemburu di Lumban Wetan itu pun tidak akan melibatkan diri” berkata Daruwerdi.

“Jika mereka melibatkan diri juga?”

“Itu kewajibanku” jawab Daruwerdi. Namun ada juga semacam keragu-raguan, bahwa jika kedua pemburu itu bersama turun ke arena, maka sudah pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawannya. Ia sudah menjajagi kemampuan salah seorang dari keduanya. Dan yang seorang itupun mampu mengimbanginya.

Tetapi Daruwerdi percaya, bahwa kedua pemburu itu bukan orang-orang yang licik. Bukan pengecut dan tidak akan berbuat curang. Karena itu, ia berharap, bahwa jika ia tidak melibatkan diri secara langsung, kedua pemburu itupun tentu tidak akan berbuat apa-apa, selain menyaksikan dan barangkali mengumpat-umpat.

Nugata yang memang sudah lama menunggu, tiba-tiba saja bagaikan anak-anak mendapat tawaran untuk bermain kejar-kejaran. Dengan segera ia menemui kawan-kawannya yang dianggapnya orang terbaik di Lumban Kulon untuk membantunya memimpin anak-anak Lumban Kulon membuka pintu air.

“Kita tidak peduli lagi, apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Lumban Wetan. Kita akan melakukan sesuai dengan keinginan kita. Jika anak-anak Lumban Wetan, menentang, maka kita akan memaksanya dengan kekerasan” berkata Nugata kepada kawan-kawannya.

Kawan-kawannya pun menjadi gembira pula. Mereka pun menganggap bahwa anak-anak Lumban Wetan belum terlalu lama berlatih. Mereka tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh sepuluh orang anak-anak muda Lumban Wetan yang berlatih tanpa mengenal lelah. Sementara yang lain pun telah berlatih hampir setiap hari, sehingga kemampuan mereka telah meningkat lebih cepat dari anak-anak Lumban Kulon, meskipun waktunya lebih pendek.

Dalam pada itu, selagi anak-anak Lumban Wetan dan Lumban Kulon mempersiapkan diri untuk mempertahankan keinginan masing-masing, maka telah hadir pula dengan diam-diam di daerah Lumban dua orang berkuda. Mereka langsung pergi ke bukit gundul pada saat matahari telah tenggelam di bawah cakrawala.

“Kau panggil anak itu” berkata yang seorang.

Yang seorang termangu-mangu. Namun kemudian. Katanya, “Cempaka, apakah kita tidak melihat perkembangan keadaan di daerah ini lebih dahulu?”

Cempaka menggeleng Katanya, “Daerah ini adalah daerah mati. Tidak akan ada perkembangan apapun juga. Orang-orang Lumban hidup seperti kakek dan neneknya hidup Mereka berbuat seperti apa yang telah diperbuat oleh orang-orang tua sebelumnya. Jika kita pernah datang beberapa saat lampau, maka pada saat ini, Lumban masih seperti saat ini, Lumban masih seperti saat-saat lampau itu. Karena itu, pergilah Rahu”

“Apakah anak itu tidak merupakan sumber gerak dari kehidupan di Lumban?” bertanya Rahu.

Cempaka menggeleng lemah. Jawabnya, “Aku kira ia tidak sempat berbuat apa-apa disini. Mungkin karena malas, tetapi mungkin karena acuh tidak acuh. Ia mempunyai kepentingan tersendiri”

Rahu tidak menjawab. Namun kemudian setelah menambatkan kudanya ia melangkah meninggalkan Cempaka seorang diri di daerah yang kering tandus itu. Namun Cempaka pun mengetahui, bahwa parit-parit di beberapa bagian telah mulai basah oleh air yang naik dari sungai kecil yang menampung air dari bukit berhutan itu.

Dalam pada itu, Rahu pun berusaha untuk mencapai rumah Daruwerdi tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam gelapnya malam, ia tidak menemui kesulitan apapun untuk menyusup tanpa diketahui oleh anak-anak Lumban Kulon yang berada di gardu-gardu. Yang sedang sibuk mematangkan rencana mereka untuk membuka pintu air tanpa persetujuan anak-anak Lumban Wetan. Bahkan mereka telah berkeputusan untuk memperguna-kan kekerasan apabila anak-anak Lumban Wetan berusaha mencegah mereka.

Kedatangan Rahu memang mengejutkan Daruwerdi. Namun Rahu pun segera memberitahukan, bahwa Cempaka telah berada di bukit gundul.

“Aku akan segera datang” berkata Daruwerdi kemudian.

Seperti yang dikatakannya, begitu Rahu kembali ke bukit Gundul, dan memberitahukan kesediaan Daruwerdi untuk datang, maka anak muda itu sudah nampak dalam keremangan malam, beberapa langkah saja dari keduanya.

“Aku kira kau sudah menyerah” berkata Daruwerdi, demikian ia berdiri dihadapan Cempaka.

“Jangan Gila” potong Cempaka, “kau kira kami termasuk golongan anjing yang hanya dapat menggonggong? Apa yang sudah dapat dilakukan oleh orang-orang Pusparuri dan orang-orang Kendali Putih?”

“Katakan sajalah, bahwa kau sudah berhasil menangkap Pangeran itu” desis Cempaka, “Aku tidak perlu dengan bualanmu”

“Kau hanya wajib mendengarkan. Apapun yang akan aku katakan, biarlah aku katakan” geram Cempaka, “Dan sekarang, aku mengemban tugas dari pimpinan tertinggi kami”

“Menyerahkan orang itu?” bertanya Daruwerdi dengan serta-merta.

“Kau benar-benar iblis. Dengar dahulu. Kami akan membawa Pangeran itu dan melindunginya di sepanjang perjalanan. Sudah barang tentu kami tidak ingin kehilangan apabila orang-orang Pusparuri atau orang-orang Kendali Putih, atau orang-orang Gunung Kunir, bahkan mungkin para prajurit Demak yang ingin mengambil Pangeran itu dari tangan kami”

Daruwerdi tersenyum. Sekilas ditatapnya wajah Cempaka yang tegang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu. Tetapi jika kalian masih menunggu tanpa ada batasnya, maka justru kalian akan menyesal, karena orang-orang Pusparuri, orang-orang Kendali Putih dan barangkali dari kelompok-kelompok yang lain akan sempat merebutnya dari tangan kalian”

“Itu urusan kami” jawab Cempaka, “Tetapi ketahuilah, bahwa kami akan datang dalam waktu dekat, mungkin ini. Bersiaplah untuk menerimanya dan siapkan pusaka itu sebelum kami datang. Ingat, jika kau ingkar, maka kau tidak akan dapat mengelak lagi jika kami berbuat sesuatu yang akan menyakiti tubuhmu, sebelum nyawamu lepas dari wadagmu”

Daruwerdi tertawa. Katanya, “Kau hanya dapat mengancam. Sudahlah, bawa Pangeran itu kemari. Aku memerlukannya segera”

“Sudah aku katakan, aku akan datang lagi mungkin dalam pekan ini” jawab Cempaka.

Daruwerdi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan menunggu. Segalanya sudah siap”

Cempaka tidak berbicara terlalu panjang. Ketika semua masalah yang penting sudah dikatakannya, maka iapun berkata, “Aku akan kembali untuk melaporkan pertemuan ini”

“Demikian tergesa-gesa” bertanya Daruwerdi.

“Apakah kau ingin menahan kami berdua?” bertanya Cempaka pula.

Daruwerdi mengerutkan keningnya. Katanya, “Tidak. Kembalilah dan segera bawa Pangeran itu kemari”

Cempaka memandang Daruwerdi dengan tegang. Namun kemudian katanya kepada Rahu, “Kita akan kembali sekarang juga”

Rahu tidak menjawab. Ia pun kemudian berdiri dan melangkah ke kudanya yang tertambat, disusul oleh Cempaka sambil berkata, “Aku akan datang lagi untuk menyelesaikan masalah kita sampai tuntas”

Daruwerdi tertawa. Tetapi ia tidak beranjak dari. tempatnya ketika ia melihat Cempaka dan Rahu meninggalkan bukit gundul itu.

Di dalam gelapnya malam yang semakin kelam, Rahu berkuda di belakang Cempaka menyusuri bulak panjang. Namun kuda mereka tidak berpacu dengan kencang.

“Cempaka” berkata Rahu kemudian, “Apakah kau percaya kepada anak itu?”

Cempaka mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Aku memang ragu-ragu”

“Aku ingin mengawasinya” berkata Rahu

“Maksudmu?”

“Aku akan tinggal disini. Aku akan melihat-lihat apakah ia bertindak dengan jujur. Mungkin ia mempersiapkan penyambutan yang sama sekali tidak kita duga-duga. Mungkin ia akan menerima Pangeran itu, namun ia berkeberatan menyerahkan pusakanya. Untuk itu ia tentu tidak akan bertindak seorang diri”

Cempaka mengangguk-angguk, la dapat mengerti jalan pikiran Rahu. Namun ia masih bertanya, “Jika Daruwerdi mengetahui bahwa kau berada disini, mungkin ia akan berusaha untuk merubah rencananya”

Rahu merenung sejenak. Namun kemudian Katanya, “Sulit untuk tidak diketahui oleh Daruwerdi. Karena itu, tidak ada salahnya jika aku dengan terang-terangan berada disini”

“Itu akan dapat membahayakan jiwamu. Daruwerdi akan dapat mempergunakan kekuatan lain untuk menangkap dan mungkin membunuhmu sebelum kau sempat melaporkan, apa yang kau lihat disini”

“Aku akan berusaha untuk melindungi diriku sendiri” jawab Rahu. Namun kemudian Katanya, “Cempaka, marilah kita membuat janji Aku akan berada di tempat yang akan kita tentukan pada akhir pekan, untuk memberikan laporan. Jika aku tidak ada di tempat itu, maka berhati-hatilah. Mungkin aku benar-benar telah ditangkap atau dibunuh oleh pengikut-ikut Daruwerdi”

“Jadi, apapun yang terjadi disini, kau akan menunggu kami di tempat yang akan kita tentukan?” bertanya Cempaka, “Dan apabila kau tidak berada di tempat itu, berarti bahwa keadaan tentu gawat bagi kita”

“Ya. Aku akan ada di tempat itu. Kecuali jika aku mati” jawab Rahu.

Cempaka mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menentukan tempat yang paling baik bagi Rahu untuk menunggu kedatangan orang-orang Sanggar Gading yang akan dipimpin langsung oleh Pemimpin Tertingginya. Namun yang di dalam iring-iringan itu ternyata telah terdapat benih-benih perselisihan yang gawat diantara mereka.

Dengan demikian, maka Rahu pun tidak meneruskan perjalanannya. Dipandanginya Cempaka yang kemudian memacu kudanya sampai hilang ditelan kelamnya malam.

Sejenak Rahu termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya udara di daerah Sepasang Bukit Mati itu akan dihirupnya sampai habis.

Ketika ia kemudian berpaling, dilihatnya dalam keremangan malam bayangan Sepasang Bukit Mati yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu dekat. Bukit yang sebelah adalah bukit gundul berbatu-batu, sedang yang lain adalah bukit berhutan lebat

“Di daerah ini ada Semi dan Bantaradi” berkata Rahu di dalam hatinya, “Aku harus menemukan keduanya”

Sejenak Rahu masih berada di tempatnya. Namun kemudian iapun menarik kendali kudanya. Ketika kuda itu sudah berputar, maka Rahu pun menyentuh leher kudanya, sehingga kudanya itupun mulai berjalan perlahan-lahan menuju kembali ke bukit gundul.

“Aku tidak perlu bersembunyi” Katanya, “dengan demikian, aku akan lebih mudah untuk bertemu dengan Semi atau Bantaradi, karena mereka akan segera mengetahui bahwa aku berada disini”

Perlahan-lahan Rahu maju semakin dekat dengan Bukit Gundul. Namun ia pun kemudian membelokkan kudanya, menuju kebagian Timur dari dua Kabuyutan yang semula hanya satu.

“Bantaradi berada di Lumban Wetan” katanya kepada diri sendiri.

Perlahan-lahan kuda Rahu menyusuri jalan bulak ke Lumban Wetan. Tetapi malam menjadi semakin kelam, sehingga Lumban pun rasa-rasanya telah tertidur dengan nyenyaknya.

“Mungkin di gardu-gardu ada juga anak-anak muda yang berjaga-jaga” berkata Rahu di dalam hatinya.

Karena itu, ketika dari kejauhan ia melihat nyala obor di sudut sebuah padukuhan, maka iapun mendekatinya. Lampu itu tentu lampu minyak di sebuah gardu.

Ketika Rahu kemudian mendekatinya, maka anak-anak di dalam gardu itupun terkejut. Mereka segera berloncatan turun. Lima orang yang berjaga-jaga di gardu itupun kemudian memencar.

Rahu mengerutkan keningnya. Sikap anak-anak Lumban Wetan ternyata cukup cermat menghadapi orang yang belum dikenalnya.

Seorang yang tertua diantara anak-anak yang berada di gardu itupun kemudian melangkah maju sambil bertanya, “Siapakah Ki Sanak?”

Rahu meloncat turun dari kudanya Jawabnya, “Aku seorang petualang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Aku tidak mempunyai tujuan dan niat apapun dengan perjalananku. Namaku Rahu”

Anak-anak di gardu itu termangu-mangu. Memang mereka agak curiga melihat seorang berkuda di malam yang gelap. Apalagi ketika orang itu menyatakan dirinya seorang petualang.

“Ki Sanak”- berkata penjaga di gardu itu, “Jika demikian, kemana Ki Sanak akan pergi malam ini”

“Aku lewat di padukuhanmu. Seperti yang aku katakan, tanpa maksud” jawab Rahu.

“Aneh” desis anak Lumban Wetan itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kau ingin lewat, lewatlah. Tetapi jangan mengganggu padukuhan kami”

Rahu mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, “Aku memang akan lewat. Tetapi aku ingin bermalam di banjar padukuhan ini semalam. Aku sudah terlalu lelah”

Anak-anak muda Lumban Wetan itu termangu-mangu. Namun mereka memang melihat orang berkuda itu nampak lelah. Tetapi untuk memberinya tempat di banjar, ia masih juga ragu-ragu. Terbayang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di padukuhan itu. Orang-orang berkuda telah sering membuat padukuhan mereka menjadi gemetar.

Karena anak-anak muda itu tidak segera menjawab, maka Rahu pun kemudian berkata, “Tunjukkan kepadaku, dimanakah letak banjar padukuhan Lumban Wetan”

“Ada beberapa banjar” jawab anak-anak itu, “Hampir di setiap padukuhan ada banjar. Jika yang kalian maksud banjar di padukuhan induk Kabuyutan Lumban Wetan, pergilah ke padukuhan disebelah bulak yang tidak terlalu panjang ini”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandangnya jalan yang diselubungi oleh kegelapan. Namun akhirnya ia berkata, “Baiklah. Aku akan pergi ke padukuhan induk Kabuyutan Lumban Wetan”

Rahu tidak menunggu lagi. Iapun segera meninggalkan anak-anak muda di gardu itu menuju ke padukuhan induk.

“Kenapa kau tunjukkan banjar itu?” bertanya seorang anak muda kepada kawannya yang tertua, yang telah menunjukkan banjar itu kepada Rahu.

“Biarlah ia kesana” jawabnya, “di banjar ada kedua pemburu itu. Jika orang itu ternyata ingin berbuat jahat, maka pemburu-pemburu itu tentu akan mencegahnya”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya bergumam, “Cepat juga kau berpikir”

Sambil menengadahkan dadanya ia menjawab, “Aku termasuk orang terbaik di padukuhan ini. Satu-satunya orang yang termasuk sepuluh terpilih”

“Ah, sombongnya kau” desis yang lain, “meskipun kami tidak termasuk yang sepuluh, kami tidak kalah pesatnya maju dibanding dengan kalian”

Kawannya itu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Biarlah orang itu bertemu dengan kedua pemburu itu. Aku masih lelah. Latihan yang baru saja selesai ini rasa-rasanya telah memeras segenap tenagaku”

“Dan kau langsung datang kemari?” bertanya kawannya.

“Tentu tidak. Pulang dahulu, mandi dan makan sekenyang-kenyangnya” jawab anak muda itu.

Dalam pada itu, Rahu pun menuju ke induk Kebuyutan Lumban Wetan, ia berharap dapat bertemu dengan Jlitheng. Mungkin di gardu-gardu. Mungkin di sepanjang jalan, apabila anak muda itu berada di sawah. Seandainya tidak malam itu. besok anak-anak Lumban tentu sudah akan mempercakapkan kehadirannya. Seorang petualang yang bernama Rahu.

“Bantaradi mengenal namaku dengan baik” desisnya.

Dalam pada itu, ketika Rahu memasuki padukuhan induk, maka di gerbang ia terpaksa berhenti karena beberapa orang anak-anak muda yang berada di gardu itupun berloncatan turun pula. Seperti di gardu pertama, maka anak-anak muda itupun bertanya kepadanya, siapakah namanya dan keperluannya.

Ternyata Rahu menjawab dengan jawaban yang agak berbeda. Katanya, “Namaku Rahu. Aku seorang perantau yang kemalaman di jalan. Apakah aku diperkenankan bermalam disini?”

Anak-anak muda itupun termangu-mangu. Mereka pun telah dibayangi oleh kegelisahan yang timbul karena kehadiran orang-orang berkuda sebelumnya. Namun, seperti anak muda di gardu pertama, di banjar telah tinggal untuk sementara dua orang pemburu yang memiliki kemampuan yang tinggi. Yang seorang diantara mereka telah terbukti mampu mengimbangi kemampuan Daruwerdi.

Karena itu, maka mereka tidak begitu cemas lagi dengan kehadiran orang berkuda itu. Salah seorang dari anak-anak muda yang berjaga-jaga di gardu itu berkata, “Baiklah. Pergilah ke banjar. Kau akan mendapat tempat untuk beristirahat malam ini”

“Apakah di banjar ada orang yang dapat menerima kehadiranku dan memberikan tempat kepadaku?” bertanya Rahu.

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Biasanya di banjar ada beberapa orang anak muda yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang dengan kedua pemburu itu. Namun kadang-kadang pada satu saat banjar itu menjadi sepi. Anak-anak itu masih belum datang, atau mereka berada di gardu-gardu yang lain.

Karena itu, maka seseorang yang paling disegani diantara anak-anak muda itupun berkata kepada seorang kawannya, “ Antarkan orang itu”

Tetapi kawannya tidak segera beringsut. Masih membayang kecemasan di wajahnya. Karena itulah maka anak muda yang paling berpengaruh itu pun berkata pula, “Pergilah berdua”

Dalam pada itu, sambil tersenyum Rahu berkata, “Kalian mencurigai aku?”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun Rahu meneruskan, “Aku mengerti, kenapa kalian mencurigai seseorang yang memang belum kalian kenal”

Anak-anak muda Lumban Wetan itu hanya saling berpandangan, sementara Rahu berkata lebih lanjut” Marilah. Siapakah yang akan mengantar aku ke banjar.

Akhirnya dua orang anak muda bergeser maju. Seorang dari mereka berkata, “Marilah. Ikutlah aku.

Anak-anak muda itupun kemudian berjalan mendahului petualang yang mengaku bernama Rahu itu menuju ke banjar Baru kemudian, setelah Rahu mengikutinya beberapa langkah di belakangnya, anak muda yang seorang lagi melangkah pula menyusul.

Rahu tersenyum melihat kesiagaan anak-anak Lumbar, Wetan itu. Tetapi ia pun mengerti, bahwa Lumban Kulon dan Lumban Wetan memang pernah disentuh oleh orang-orang Pusparuri dan orang-orang Kendali Putih.

Namun ingatan tentang orang-orang Pusparuri dan Kendali Putih itu telah menggetarkan hatinya pula. Tidak mustahil bahwa perjalanan orang-orang Sanggar Gading telah dicegat oleh orang-orang Pusparuri atau orang-orang Sanggar Gading telah dicegat oleh orang-orang Pusparuri atau orang-orang Kendali Putih atau padepokan yang manapun. Bahkan mungkin, satu dua padepokan telah bergabung menjadi satu, meskipun akhirnya mereka akan saling bergabung pula.

Ternyata jalan ke banjar itu tidak terlalu panjang. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai ke pintu regol banjar yang ternyata masih terbuka.

Dalam pada itu, ketika Rahu memasuki regol itu, iapun tertegun. Dilihatnya dua ekor kuda tertambat disamping pendapat, seolah-olah tengah dipersiapkan untuk satu perjalanan.

“Kuda siapa?” bertanya Rahu tiba-tiba.

Anak muda yang mengantarnya, yang kemudian berdiri disebelahnya berkata, “Ada dua orang pemburu bermalam di banjar ini pula. Malam ini mereka akan pergi berburu. Agaknya kuda-kuda itu adalah kuda mereka yang siap berangkat”

Rahu menjadi berdebar-debar. Ia harus memperhitungkan kedua orang pemburu itu pula. Mungkin ia benar-benar dua orang pemburu yang tidak berarti apa-apa karena mereka hanya mampu memburu binatang. Tetapi dalam kemelut di-daerah Sepasang Bukit Mati itu, ada orang-orang lain yang ikut pula mengambil keuntungan.

Karena itu, Rahu yang kemudian menambatkan kudanya pula di depan banjar itupun menjadi sangat berhati-hati menghadapi keadaan. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, sementara anak-anak muda yang mengantarnya telah naik ke pendapa sambil mempersilahkan, “Marilah. Duduklah. Biarlah aku menyiapkan segala sesuatunya. Ada bilik di belakang banjar yang dapat kau pergunakan. Jika semuanya sudah siap. aku akan mempersilah-kanmu”

Rahu naik ke pendapa. Kemudian ia pun duduk diatas sehelai tikar yang memang sudah terbentang. Di tengah-tengah pendapa itu terdapat lampu minyak yang tidak terlalu besar.

Dalam pada itu, maka kedua anak-anak muda itupun telah memasuki ruang dalam banjar dan kemudian langsung menuju kebelakang. Keduanya tertegun ketika mereka mendengar suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap.

Seperti yang diduganya, ketika ia memasuki bilik yang diperuntukkan bagi kedua pemburu itu, mereka melihat bahwa kedua orang pemburu itu sudah siap berangkat.

“Kalian akan berburu?” bertanya anak-anak muda itu.

“Ya” jawab kedua orang pemburu, “Aku sudah mengatakannya kepada orang tua yang menunggui banjar ini. Bahkan orang tua itu telah menyiapkan bekal bagi kami”

“Ada tamu di pendapa” desis salah seorang dari kedua anak-anak muda itu.

“Siapa?” bertanya salah seorang dari kedua pemburu itu.

“Aku kurang tahu. Bertanyalah sendiri kepadanya, ia mengaku seorang petualang” jawab anak muda itu.

Semi dan kawannya termangu-mangu. Namun keduanya pun kemudian melangkah keluar dari bilik mereka menuju ke pendapa.

Demikian mereka berdiri di pintu pringgitan, hatinya menjadi berdebar. Ia langsung dapat mengenal orang itu. Rahu. Tetapi sejenak kemudian ia berusaha menguasai dirinya. Ia tidak segera mengetahui, manakah yang lebih baik. Apakah ia langsung bersikap sebagai seseorang yang telah mengenalnya, atau sebaliknya.

Sementara itu Rahu yang duduk di tikar yang terbentang itupun telah melihat, siapa yang berdiri di pintu. Tetapi di wajahnya sama sekali tidak membayang kesan, bahwa ia telah mengenalnya. Karena itu, maka Semi pun bersikap serupa pula. Perlahan-lahan ia mendekati tamunya diikuti oleh kawannya yang ragu-ragu pula.

“Selamat datang Ki Sanak” berkata Semi.

Rahu mengangguk hormat sambil menjawab, “Terima kasih. Apakah kalian pemimpin anak-anak muda Lumban Wetan?”

Semi tersenyum. Jawabnya, “Bukan. Aku adalah seorang pemburu yang menumpang di banjar ini bersama kawanku ini”

“O, begitu” desis Rahu, “kebetulan sekali Kita akan sama-sama menumpang di banjar ini”

Semi tersenyum. Bersama kawannya ia pun segera duduk menemani tamu yang baru datang itu.

Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang mengantarkan Rahu ke banjar itu pun minta diri untuk kembali ke gardu.

“Terima kasih atas kebaikan kalian” berkata Rahu kepada anak-anak muda itu, “Ternyata disini aku mendapat kawan”

“Silahkan” jawab salah seorang anak muda itu, “Jika kedua pemburu itu akan pergi juga berburu, kau dapat pergi ke bilikmu yang sudah kami siapkan. Disebelah banjar ini tinggal seorang tua yang menunggui banjar ini. Aku sudah memberitahukan kepadanya, bahwa selain kedua pemburu itu, ada seorang lagi yang harus dilayaninya”

“Terima kasih, terima kasih. Kalian terlalu baik” desis Rahu.

Anak-anak muda itu hanya tersenyum saja, Mereka pun kemudian meninggalkan banjar itu, kembali ke gardu.

“Bagaimana sikap petualang itu?” bertanya kawan-kawannya.

“Nampaknya ia orang baik, meskipun agak kasar. Ia sekarang duduk bersama kedua pemburu. Untunglah bahwa keduanya masih belum berangkat, meskipun sudah siap. Jika kami lambat beberapa langkah, tentu ia sudah meninggalkan banjar”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tidak perlu mencemaskan kehadiran orang yang menyebut dirinya petualang bernama Rahu itu, justru karena di banjar ada kedua pemburu yang mereka anggap memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga keduanya tentu akan dapat mencegah jika petualang itu berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Sementara itu, ketika anak-anak muda itu telah kembali ke gardunya, maka mulailah Rahu dan kedua pemburu itu berbicara wajar. Dengan singkat Rahu menceritakan, bahwa Cempaka sudah mempersiapkan saat-saat penyerahan Pangeran yang akan ditukarkan dengan sebuah pusaka yang sangat di hormati banyak orang itu.

“Kau sengaja tinggal disini?” bertanya Semi.

“Ya. Aku sudah mendapat ijin Cempaka. Aku harus mengamati keadaan, agar Daruwerdi tidak melakukan pokal yang dapat mengganggu saat-saat penyerahan itu” jawab Rahu.

“Kau lakukan dengan diam-diam, atau sengaja kau lakukan dengan terbuka?” bertanya Semi.

“Aku lakukan dengan terbuka. Biarlah Daruwerdi mengetahui kehadiranku disini” jawab Rahu, lalu, “Cempaka mencemaskan keadaanku karena ia tidak mengetahui bahwa disini hadir kalian berdua dan Bantaradi” Rahu berhenti sejenak, kemudian tiba-tiba saja, “He, apakah kau sudah berhubungan dengan anak itu?”

“Ya. Aku sudah berhubungan dengan anak yang dipanggil Jlitheng itu meskipun diluar hubungan wajar, karena disini ia adalah seorang yang tidak terhitung anak-anak muda terbaik” jawab Semi.

“Bagaimana menurut penilaianmu atas anak itu? Meskipun ia dapat membuktikan, bahwa ia adalah putera Pangeran Surya Sangkaya, namun kita tidak mengetahui perkembangan pribadinya”

“Nampaknya ia dapat dipercaya, ia telah berbuat banyak bagi Lumban. Namun diluar kemampuannya, ia tidak dapat mencegah pertentangan antara anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan yang sedang berebut air”

“Air?” bertanya Rahu.

“Satu persoalan tersendiri bagi Lumban” jawab Semi yang kemudian menceriterakan pertentangan yang semakin panas antara anak-anak muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan.

“Aku justru telah terlibat” berkata Semi, yang menyelesaikan ceriteranya dengan keterlibatannya.

Rahu justru tersenyum. Katanya, “Kau sudah menjajagi kemampuan Daruwerdi. Namun justru karena itu, kita harus memikirkan apa yang akan dilakukan kemudian. Seandainya ia seorang diri menerima Pangeran yang sakit itu, yang pada satu saat akan sembuh atau sakitnya menjadi semakin berkurang. Apakah ia dapat berbuat sesuatu, mungkin memaksakan kehendaknya, apalagi membalas dendam seperti yang dikatakannya. Aku menduga, bahwa Pangeran itu mempunyai kemampuan ilmu yang tinggi Jika saja ia tidak sedang sakit, maka mungkin sekali kedatangan kami di istananya itupun akan kehilangan arti sama sekali. Mungkin kita pun akan mengalami nasib yang tidak baik. Agaknya itu adalah salah satu kecermatan kerja Sanggit Raina”

Semi mengangguk-angguk. Katanya, “Memang menarik sekali. Bahkan cukup menumbuhkan kecurigaan bahwa Daruwerdi akan menjebak orang-orang Sanggar Gading”

“Alasan itulah yang aku sebutkan sehingga aku dapat tinggal disini” desis Rahu.

“Tetapi orang-orang Sanggar Gading telah mengenal aku. Apakah kehadiranmu bersamaku disini tidak menarik perhatian mereka?” bertanya Semi tiba-tiba.

“Yang ada disini baru aku. Cempaka telah kembali. Aku kira orang-orang Sanggar Gading itu tidak akan mengirimkan orang lain lagi” jawab Rahu. Namun kemudian, “Tetapi seandainya demikian, aku dapat mengatakan, bahwa kau sengaja aku panggil untuk membantuku disini, tentu saja atas tanggung jawabku jika terjadi kebocoran”

Semi mengangguk-angguk.

“Tetapi bagi Daruwerdi kita adalah orang lain” berkata Rahu kemudian.

Ternyata malam itu Semi mengurungkan niatnya untuk berburu. Ia harus membicarakan banyak hal dengan Rahu. Tetapi pembicaraan mereka sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaan anak-anak muda Lumban yang ketika nganglang dari gardu parondan masih melihat mereka duduk berbincang di pendapa.

“Mereka justru dapat menyesuaikan diri masing-masing” berkata anak-anak muda itu, “nampaknya mereka sedang menceriterakan pengalaman masing-masing, sehingga pemburu itu mengurungkan rencananya malam ini”

Dalam pada itu, Rahu dan Semi sudah menemukan beberapa kesepakatan atas kehadiran mereka di Lumban Wetan. Semi lah yang wajib memberikan keterangan tentang kehadirannya kepada Jlitheng pada kesempatan yang dapat dicarinya sendiri.

“Besok aku akan menemui Daruwerdi” berkata Rahu, “supaya ternyata bahwa kehadiranku bukanlah kehadiran yang diam-diam dan bersembunyi. Dengan demikian, maka ialah yang harus melakukan rencananya dengan diam-diam, jika ia memang mempunyai niat untuk menjebak kami”

“Apakah itu bukan satu kekeliruan” desis Semi, “sebaiknya biarlah Daruwerdi melakukannya dengan terbuka. Dengan demikian kau akan segera mengetahuinya”

“Kita akan dapat memanfaatkan Jlitheng untuk membantu kita. Jika ia melakukannya dengan diam-diam, maka berharap bahwa Jlitheng akan dapat mengetahuinya” sahut Rahu.

Semi mengangguk-angguk. Desisnya, “Aku percaya kepada anak muda yang aneh itu. Meskipun aku tidak tahu, apakah sifat-sifat kesatria dan keluhuran budi Pangeran Surya Sangkaya ada pada dirinya”

“Agaknya memang demikian” jawab Rahu.

Semi masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Rahu, jika kau lelah, silahkan beristirahat. Mungkin besok kita akan berbicara lagi setelah tumbuh perkembangan baru. Aku masih harus melihat, apakah anak-anak Lumban Kulon benar akan bertindak kasar terhadap anak-anak Lumban Wetan. Jika demikian, maka aku masih akan diganggu oleh persoalan itu”

“Selesaikan persoalanmu sebaik-baiknya” berkata Rahu, “Tetapi jika peristiwa itu bersamaan dengan kedatangan orang-orang Sanggar Gading, maka mungkin akan dapat timbul salah paham. Mungkin orang-orang Sanggar Gading mempunyai dugaan yang salah, sehingga mereka mengambil sikap yang salah pula terhadap anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Jika demikian maka akan jatuh korban yang tidak berarti sama sekali. Mereka yang tidak bersangkut paut sama sekali dengan persoalan Daruwerdi dan orang-orang Sanggar Gading justru akan mengalami nasib yang buruk”

“Kau dapat mengatakannya kepada orang-orang Sanggar Gading jika saatnya mereka datang” jawab Semi.

“Akan aku coba” desis Rahu.

Demikianlah maka Rahu pun kemudian masuk ke dalam bilik yang sudah disediakan baginya, sementara Semi dan kawannya pun kembali pula ke dalam biliknya. Tetapi ia sempat mengetuk pintu orang tua penunggu banjar itu dan berkata dari luar pintu, “Aku tidak jadi pergi. Tetapi makanan yang kau berikan telah habis aku makan”

Ternyata orang tua itu hanya menggeliat sambil berguman, “Terserahlah”

Semi tersenyum.

Dihari berikutnya, Rahu sengaja ingin menemui Daruwerdi. Ia ingin menyatakan bahwa ia tetap tinggal di padukuhan itu dan ia ingin pula mengetahui perkembangan terakhir seperti yang dikatakan oleh Semi tentang hubungan yang memburuk antara anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan.

Kedatangan Rahu memang mengejutkan Daruwerdi. Ia lebih terkejut dari saat ia melihat kehadirannya semalam.

“Kau masih disini?” bertanya Daruwerdi.

“Ya” jawab Rahu, “Aku ingin meyakinkan, apakah kau tidak berlaku curang”

Daruwerdi tertawa. Katanya, “Kau memang gila. Orang-orang Sanggar Gading memang gila. Kalian selalu dibayangi oleh prasangka buruk, karena kelakuan kalian sendiri. Seolah-olah setiap orang berkelakuan buruk seperti orang Sanggar Gading. Lebih dari itu setiap orang kau sangka berbuat licik seperti yang kalian lakukan”

Rahu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menjawab, “Apakah kau beranggapan demikian?”

“Sejak semula. Bukan saja terhadap orang-orang Sanggar . Gading. Tetapi juga orang-orang Pusparuri, orang-orang Kendali Putih dan orang-orang lain yang tamak” jawab Daruwerdi.

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserah anggapanmu. Tetapi kami wajib berhati-hati terhadap orang seperti kau. Apakah kira-kira Pangeran yang akan diserahkan kepadamu itu tidak akan menganggap bahwa kau juga seorang yang sangat licik? Bahkan mungkin orang yang paling licik di seluruh dunia?”

Daruwerdi tertawa. Katanya kemudian, “Baiklah apa yang ingin kau lakukan”

Rahu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Daruwerdi, menurut pendengaranku, ada persoalan yang timbul antara anak-anak muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan?”

“Ah, itu permainan anak-anak ingusan.-Apa kepentinganmu?” bertanya Daruwerdi

“Aku mengingat peristiwa yang besar dalam, keseluruhan” jawab Rahu.

“Peristiwa apa?” bertanya Daruwerdi.

“Jika peristiwa itu terjadi tepat pada kedatangan orang-orang Sanggar Gading, apakah tidak akan dapat menimbulkan salah paham? Jika orang-orang Sanggar Gading tidak sempat menelaah persoalan itu sebaik-baiknya, maka kami akan menyangka, bahwa kau akan menjebaknya” jawab Rahu sehingga dengan demikian mungkin akan menimbulkan persoalan yang lain sama sekali dengan persoalan yang sudah kita. bicarakan disini”

Tetapi Daruwerdi justru tertawa semakin panjang. Katanya, “Jangan memikirkan yang bukan-bukan. Sudahlah. Lupakan saja semuanya” Daruwerdi berhenti sejenak, lalu, “He, dimana kau tinggal selama kau mengawasi aku?”

“Di banjar padukuhan induk Kabuyutan Lumban Wetan” jawab Rahu.

“Kau tinggal bersama dua orang pemburu?” bertanya Daruwerdi dengan kerut merut dikeningnya.

Rahu tersenyum. Jawabnya, “Dua ekor monyet yang menjemukan. Mereka terlalu banyak bicara. Aku sekali-kali ingin membungkam mulut mereka”

“Jangan main-main dengan kedua orang itu“ Daruwerdi memperingatkan, “seperti yang kau cemaskan dengan anak-anak muda Lumban, maka dengan kedua orang itu mungkin sekali akan dapat menumbuhkan persoalan lain. Bahkan mungkin kau akan dibunuhnya seperti seekor kijang”

Tetapi Rahu tertawa. Dengan suara lantang ia menjawab, “Kau masih sempat bergurau dalam keadaan seperti ini Daruwerdi Kau memang, orang yang luar biasa. Seolah-olah kau anggap segala peristiwa yang akan sama-sama kita hadapi itu sebagai lelucon saja”

“Aku tidak berbicara tentang persoalan kita. Tetapi tentang kedua pemburu itu” jawab Daruwerdi.

“Ya. Itulah yang aku maksud. Kedua pemburu itu dalam hubungannya dengan aku” berkata Rahu pula, “Kau masih juga sempat memperingatkan aku, bahwa orang itu mungkin akan membunuhku. Bukankah itu satu lelucon yang sangat menarik”

Daruwerdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Jangan berkata begitu. Aku yakin, bahwa kedua orang pemburu itu bersama-sama akan dapat membunuhmu jika kau hanya seorang diri”

Rahu tertawa semakin keras. Katanya, “Aku, orang Sanggar Gading kepercayaan Cempaka yang bertugas untuk mengawasimu dalam keadaan yang gawat dan sungguh-sungguh, akan dapat dibunuh oleh dua orang pemburu kancil?”

Daruwerdi pun ikut tersenyum. Tetapi hatinya terasa pahit, bahwa ia yang pernah mengalaminya, tidak dapat mengalahkan salah seorang dari keduanya. Tetapi ia sama sekali tidak ingin mengatakannya kepada Rahu, orang Sanggar Gading itu.

Yang dikatakannya adalah kemampuan pemburu itu menangkap seekor harimau yang besar tanpa melukai harimau itu.

“Bukankah itu hal yang sangat wajar?” sahut Rahu, “seorang petani yang tidak pernah berkelahi pun akan dapat melakukannya”

“Mustahil” sahut Daruwerdi, “ bagaimana mungkin”

“Mudah sekali. Diberinya umpan sepotong daging yang sudah diberi racun. Mungkin racun warangan, mungkin getah salah satu pepohonan yang diketahui beracun, mungkin cara-cara lain semacam itu. Bukankah orang itu akan dapat menangkap harimau itu tanpa melukainya?”

Daruwerdi berpikir sejenak. Namun kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Mungkin. Mungkin sekali”

Namun demikian Daruwerdi tidak dapat melepaskan kenyataan bahwa ia tidak dapat mengalahkan salah seorang dari keduanya.

Dalam pada itu, maka Rahu pun berkata kepada Daruwerdi, “Di akhir pekan, orang-orang Sanggar Gading akan datang. Jangan berbuat gila. Aku akan dapat melaporkannya sebelum mereka memasuki jebakanmu”

Daruwerdi tertawa. Tetapi disela-sela tertawanya ia bertanya, “Bagaimana jika kau mati sebelum mereka datang? Apakah kau akan dapat melaporkannya?”

“Tentu, meskipun dengan cara lain. Jika aku tidak datang di tempat yang telah ditentukan, itu berarti bahwa aku mati” jawab Rahu.

“Dibunuh oleh pemburu-pemburu itu, meskipun mungkin dengan cara yang dipakainya membunuh harimau?” desak Daruwerdi.

“Nasibmulah yang buruk, karena kau akan mati pula” jawab Rahu.

“Kenapa aku?” bertanya Daruwerdi.

“Orang-orang Sanggar Gading tentu akan menyangka bahwa kaulah yang telah membunuh aku dengan cara yang paling curang, karena mereka percaya bahwa kau tidak akan berhasil mengalahkan aku dalam perkelahian yang jujur”

“Persetan. Kau sangka bahwa kau akan dapat mengalahkan aku dalam perang tanding?” bertanya Daruwerdi dengan wajah tegang.

Rahu tertawa. Katanya, “Tentu. Aku yakin, dan orang-orang Sanggar Gading pun yakin”

“Jika saja aku tidak sedang terlibat dalam persoalan yang penting seperti sekarang ini, aku ingin membunuhmu” geram Daruwerdi.

Rahu tertawa. Katanya, “Tetapi waktu masih panjang. Jika kau benar-benar ingin melakukannya sesudah persoalan kita selesai, maka kita masih mempunyai cukup waktu. Kecuali jika kau akan mati dibunuh oleh Pangeran yang ingin kau tukar dengan pusaka itu”

“Jangan mengigau” bentak Daruwerdi, “ingat Rahu. Sekali-kali aku ingin membuktikan katamu”

“Kapan pun kau kehendaki Daruwerdi. Aku bukan orang yang sekedar berbicara. Karena itu, aku pun tidak cemas menghadapi dua orang pemburu yang berada di banjar itu.”

Daruwerdi menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih menyadari, bahwa masih ada tugas yang penting yang harus dilakukannya di tempat itu. Karena itu, maka ia berusaha menahan diri, apapun yang dikatakan oleh orang yang bernama Rahu itu.

Sementara itu, setelah Rahu kembali ke banjar, maka ia telah mengatur waktu untuk dapat bertemu dengan Semi dan Jlitheng sekaligus untuk membicarakan rencana mereka menghadapi keadaan dalam keseluruhan.

Namun dalam pada itu, ternyata anak-anak Lumban Kulon telah mengambil sikap sendiri. Mereka telah bersiap siap untuk merubah pintu air yang terdapat di bendungan.

“Kita tidak dapat menunggu lagi. Daruwerdi pun sudah setuju. Tetapi seandainya Daruwerdi merubah pikirannya, kita tidak peduli lagi. Ia tidak akan berbuat apa-apa. karena ia memerlukan kita sekarang, setelah akan dapat mengalahkan pemburu itu” berkata Nugata

“Apakah benar ia tidak dapat mengalahkannya?” bertanya salah seorang kawannya.

“Ya. Aku percaya akan berita itu” jawab Nugata, “dengan demikian, maka ia memerlukan sandaran. Agaknya itu pulalah sebab-sebabnya maka ia justru menganjurkan agar kita melakukan dalam pekan-pekan ini”“

“Jadi?” bertanya kawannya yang lain.

“Besok kita pergi ke bendungan. Kita akan membuka pintu air yang menuju ke sawah kita, lebih besar. Kita akan menunggu, apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Lumban Wetan. Jika mereka akan merubah pintu air yang kita buka, maka kita akan mencegahnya. Jika perlu dengan kekerasan. Karena itu, bersiaplah sebaik-baiknya.”

Dengan demikian, maka anak-anak Lumban Kulon itu pun segera mempersiapkan diri. Rasa-rasanya mereka mendapat limpahan kepercayaan untuk melakukan satu tugas yang sangat penting bagi padukuhan mereka.

Karena itu, maka menjelang, malam, mereka-telah berlatih sebaik-baiknya. Jika besok pagi-pagi mereka harus bertempur melawan anak-anak Lumban Wetan, maka mereka sudah bersiap sepenuhnya

Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda Lumban Kulon bersiap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi dengan anak-anak Lumban Wetan apabila mereka membuka pintu air yang menghadap ke daerah persawahan di Lumban Kulon, dua orang yang tidak dikenal telah mendekati padukuhan itu. Dengan hati-hati mereka memperhatikan, bagaimana anak-anak Lumban Kulon itu berlatih.

“Mereka telah mendapat kemajuan yang pesat” berkata salah seorang dari keduanya.

“Hasil tangan anak gila itu” desis yang lain.

“Apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka?” bertanya kawannya.

“Tidak apa-apa. Kita hanya melihat saja”

“Biasanya mereka bersama Daruwerdi. Tetapi kali ini Daruwerdi tidak ada”

“Sebentar lagi ia akan datang”

“Dan kita tetap berada disini?”

“Ya. Kenapa? Kau takut?”

“Apa kau pernah melihat aku ketakutan?”

Kawannya tertawa tertahan. Namun mereka masih tetap memperhatikan anak-anak Lumban Kulon yang sedang berlatih.

Ketika anak-anak muda itu sedang beristirahat, dan Nugata memberikan penjelasan kepada mereka, maka kedua orang itu pun mengetahui, apa yang akan terjadi besok pagi.

Tetapi keduanya tertarik mendengar ceritera diantara anak-anak muda itu tentang dua orang pemburu di Lumban Wetan.

“Siapakah kedua pemburu itu?” bertanya yang seorang.

“Aku datang bersamamu. Kenapa kau tanya kepadaku?” jawab yang lain.

Kawannya tersenyum. Katanya, “Kau gelisah” Yang lain tidak menjawab. Tetapi terdengar ia mengumpat

Sementara itu anak-anak Lumban Kulon masih tetap berlatih. Setelah beristirahat sejenak, maka mereka pun segera mulai lagi. Terdengar seorang diantara mereka berkata, “Daruwerdi belum datang”

“Mungkin ia mengira bahwa kita berada di dekat bukit gundul seperti biasanya” sahut yang lain.

“Tidak” berkata Nugata, “Aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa hari ini kita berlatih disini. Kita akan dapat mempersiap-kan apa yang kurang menurut pendapat Daruwerdi. Aku kira ia akan datang”

Beberapa saat anak-anak muda itu meneruskan latihan. Bahkan ada diantara, mereka yang berlatih mempergunakan senjata.

Ketika kedua orang yang memperhatikan latihan itu hampir menjadi jemu, maka mereka melihat seseorang memasuki tempat itu. Daruwerdi.

Yang seorang menggamit kawannya sambil berdesis, “Daruwerdi telah datang”

Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab, karena terdengar Daruwerdi berkata, lantang, “Aku tidak ingin kalian mempergunakan senjata”

“Kenapa?” bertanya Nugata.

“Senjata akan dapat membunuh. Apakah kalian memang bertekad untuk saling membunuh?” bertanya Daruwerdi.

Anak-anak Lumban Kulon itu saling berpandangan. Ada niat mereka untuk mengalahkan lawannya mutlak. Jika perlu ada satu dua orang korban diantara mereka, agar dengan demikian mereka akan menjadi jera.

Daruwerdi nampaknya mengerti apa yang bergejolak di dalam hati mereka. Karena itu maka Katanya, “Mungkin dengan demikian, kalian dapat berbuat sesuatu untuk memuaskan hati kalian. Mungkin dengan jatuhnya korban satu atau dua orang diantara mereka maka mereka akan menjadi jera. Tetapi bagaimana jika korban itu tidak saja terdapat diantara anak-anak Lumban Wetan. Bagaimana jika yang menjadi korban itu anak-anak Lumban Kulon. Mungkin kau, kau, kau atau kau?”

Terasa bulu tengkuk anak-anak muda Lumban Kulon itu meremang. Bahkan mereka yang telah ditunjuk oleh Daruwerdi, merasa seolah-olah nafasnya telah terhenti.

Namun dalam pada itu, Nugata berkata, “Bagaimana jika anak-anak Lumban Wetan justru bersenjata”

“Jika kalian tidak bersenjata, aku kira anak-anak Lumban Wetan pun tidak bersenjata. Tetapi jika mereka melihat kalian bersenjata, maka mereka akan membawa senjata pula” jawab Daruwerdi.

Anak-anak itu termangu-mangu. Namun akhirnya Nugata berkata, “Baik. Kita tidak akan membawa senjata. Kita tidak akan membawa pedang, tombak atau keris. Tetapi kita akan membawa cangkul, parang dan mungkin linggis. Betapapun juga alat-alat itu perlu untuk membuka pintu air yang menghadap ke tanah persawahan kita”

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegahnya lagi.

Demikianlah, maka anak-anak Lumban Kulon itu meneruskan latihan mereka. Tetapi tidak terlalu lama, karena Daruwerdi berkata, “Kalian akan menjadi kelelahan dan besok kalian sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk membuka bendungan itu. Menurut perhitunganku, besok anak-anak Lumban Wetan belum akan berbuat sesuatu. Baru setelah mereka menyadari, bahwa kalian telah mulai membuka dan melebarkan pintu air itu, mereka akan berbuat sesuatu. Nampaknya anak-anak Lumban Wetan juga bukan penakut yang tidak berani menghadapi akibat yang pahit”

Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang mengamati latihan itu pun menggamit kawannya dan memberi isyarat untuk pergi.

Sambil beringsut dari tempatnya salah seorang dari keduanya berbisik, “Mereka akan segera meninggalkan tempat itu. Kita harus menyingkir”

“Masih agak lama” jawab yang lain, “Daruwerdi tentu masih akan memberikan beberapa petunjuk”

“Lebih baik kita pergi. Kita harus mendapat keterangan tentang dua orang pemburu yang disebut-sebut itu” berkata yang lain.

Keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Yang seorang bergumam hampir kepada diri sendiri, “Ternyata yang kita dengar adalah benar. Anak-anak Lumban Kulon sudah mampu menggenggam senjata”

“Tetapi hanya sekedar berkelahi dengan anak-anak Lumban Wetan” sahut yang lain, “bagi kita, apa yang mereka lakukan tidak berharga sama sekali”

Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi tentang anak-anak Lumban Kulon itu. Bahkan ia berkata, “Bagaimana kita dapat mengetahui tentang kedua pemburu itu?”

“Kita harus mencari jalan” jawab kawannya, “menurut pendengaran kami, hubungan antara Daruwerdi dan orang-orang Sanggar Gading nampaknya akan mencapai kesepakatan. Pangeran itu telah hilang dari istananya”

“Apakah menurut dugaanmu, antara kedua pemburu dan hilangnya Pangeran itu ada hubungannya?” bertanya yang lain.

“Mungkin kedua pemburu itu juga orang-orang Sanggar Gading yang sedang mencari hubungan dengan Daruwerdi untuk satu penyerahan timbal balik” jawab kawannya, “segalanya memang harus dipersiapkan sebaik-baiknya jika orang-orang Sanggar Gading tidak ingin gagal. Daruwerdi bukan seorang yang bodoh”

“Tetapi orang-orang Sanggar Gading juga bukan anak-anak lagi”

Kawannya mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat mereka tidak berbicara lagi. Langkah mereka telah membawa keduanya ke bulak panjang yang sepi dan gelap.

“Kita akan tinggal untuk beberapa hari di daerah ini” berkata yang seorang kemudian.

“Ada hutan, ada bukit gundul ada tempat-tempat lain untuk bersembunyi di siang hari. Tetapi mungkin kita harus langsung bertemu dengan kedua pemburu itu” sahut kawannya.

“Kita akan melihat suasana” jawab yang lain.

“Tetapi kita akan dapat melihat tontonan yang akan dipertunjukkan oleh anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Mungkin akan dapat menjadi pengendor ketegangan dalam tugas yang rumit ini”

“Asal dengan demikian, kita tidak terjerat. Mungkin oleh Daruwerdi, mungkin oleh pemburu yang tidak kita kenal itu, atau mungkin oleh siapapun juga”

“Kita cukup mempunyai perhitungan. Kita bukan anak-anak” gumam yang lain.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun berusaha menemu-kan tempat yang paling baik untuk bersembunyi. Mereka mengambil kuda mereka yang disembunyikan, dan kemudian menelusuri tempat-tempat yang mereka anggap akan dapat memberikan perlindungan di siang hari.

Dalam pada itu, Rahu telah berhasil bertemu dengan Jlitheng bersama Semi dan kawannya tanpa menarik perhatian. Mereka telah membicarakan perkembangan terakhir dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Persiapan orang-orang Sanggar Gading untuk menyerahkan Pangeran itu di akhir pekan. Sementara anak-anak Lumban Kulon yang nampaknya benar-benar ingin memaksakan kehendaknya atas anak-anak Lumban Wetan.

“Kita harus berhati-hati” berkata Jlitheng, “Kita jangan salah langkah menanggapi persoalan anak-anak Lumban”

“Semuanya masih harus diperhitungkan dan dipertimbangkan” desis Rahu. Lalu, “Aku akan melihat, apa yang dikerjakan anak-anak Lumban Kulon sekarang ini”

Meskipun agak lambat, tetapi Rahu masih sempat mendengar percakapan beberapa orang anak-anak muda di Lumban Kulon yang berada di gardu-gardu, setelah mereka menyelesaikan latihan-latihan mereka atas petunjuk Daruwerdi, agar tenaga mereka tidak terhisap habis”

Dari mereka Rahu yang mengendap-endap mendengar bahwa anak-anak Lumban Kulon akan membuka bendungan di hari berikutnya.

“Biar saja mereka lakukan” berkata Rahu kepada Semi ketika ia sudah berada di banjar.

“Anak-anak Lumban Wetan tidak akan membiarkannya” berkata Semi.

“Kita akan melihat, apa yang mereka lakukan besok. Kau nampaknya dekat sekali dengan anak-anak Lumban Wetan, apalagi yang langsung kau latih dalam olah kanuragan. Beri tahu mereka, agar mereka tidak bergerak besok. Kita melihat apa yang akan dikerjakan oleh anak-anak Lumban Kulon. Apakah Daruwerdi langsung melibatkan diri atau tidak” pesan Rahu.

Semi mengangguk. Ia mengerti, untuk menilai sikap Daruwerdi, maka sebaiknya anak-anak Lumban Wetan tidak langsung berbuat apa-apa.

Demikianlah, menjelang pagi, anak-anak Lumban Kulon sudah siap. Mereka membawa alat-alat yang diperlukan untuk membuka pintu air dan membuatnya lebih lebar. Meskipun demikian, nampaknya alat-alat yang mereka bawa agak berlebih-lebihan. Hampir setiap orang membawa parang linggis atau kampak yang akan dapat mereka pergunakan sebagai senjata jika perlu.

Semi pun telah bangun pagi-pagi. Dengan tergesa-gesa ia menemui beberapa anak-anak muda yang berpengaruh. Terutama sepuluh orang yang mendapat latihan khusus daripadanya.

“Jangan berbuat sesuatu hari ini, “ pesan Semi.

“Darimana kau tahu, bahwa mereka akan bergerak hari ini” bertanya salah seorang dari anak-anak itu.

“Aku mendengar berita itu pagi ini. Beberapa orang yang pergi ke pasar melihat kesiagaan mereka. Tetapi jangan memberikan perlawanan. Biarlah mereka melakukannya” berkata Semi.

“Dan sawah-sawah kita akan kering? Aku akan minta pertimbangan Jlitheng. Ia adalah orang yang paling banyak berbuat bagi air itu” sahut salah seorang dari anak-anak Lumban Wetan itu.

“Bukan tidak berbuat apa-apa. Tetapi kita menunggu dan menilai apakah yang akan mereka perbuat” desis Semi.

Anak-anak itu menjadi tegang. Namun demikian, mereka tetap akan berbicara dengan Jlitheng. Meskipun Jlitheng tidak termasuk sepuluh anak muda terbaik di Lumban Wetan, namun ia adalah orang yang bekerja bersama orang tua di lereng bukit, untuk menjinakkan air yang melimpah di lereng bukit itu.

Semi tidak mencegahnya. Dibiarkannya anak-anak itu menemui Jlitheng untuk minta perlindungannya, bagaimanakah sebaiknya menghadapi anak-anak Lumban Kulon. Bahkan ia telah mengikuti anak-anak itu mencari Jlitheng.

Jlitheng terkejut ketika ia melihat sekelompok anak-anak muda bersama Semi datang kepadanya. Nampaknya ada sesuatu hal yang sangat penting akan mereka sampaikan.

Sebenarnyalah, dengan singkat anak-anak muda itu mengatakan apa yang mereka dengar dari Semi. Dan mereka pun ingin mendapat tanggapan Jlitheng apakah yang sebaiknya mereka lakukan.

“Kaulah yang bekerja dengan susah payah bersama orang tua di lereng bukit itu,” berkata-seorang kawannya, “Tentu kami akan mendengar tanggapanmu. Apakah yang sebaiknya harus kami lakukan. Apakah kami harus mencegahnya, atau kami akan melihat lebih dahulu apa yang akan mereka lakukan seperti pendapat pemburu ini”

Jlitheng memandang Semi sekilas. Namun kemudian iapun berkata, “Tentu ia lebih tahu menghadapi keadaan seperti ini. Biarlah kita mendengar pendapatnya”

“Sudah aku katakan” sahut Semi.

Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Dan sekali lagi Semi menjelaskan, “Kita jangan tergesa-gesa. Mungkin kita terlampau berprasangka, sehingga kita dapat mengambil sikap yang salah”

“Ya” sahut Jlitheng, “Kita akan melihat apa yang akan terjadi pada bendungan itu. Aku pun akan memberitahukan kepada orang tua di lereng bukit itu. Ia lah yang pertama-tama berkenalan dengan air yang melimpah dan liar itu”

Demikianlah, anak-anak muda itupun kemudian mengurung-kan niatnya untuk mencegah anak-anak Lumban Kulon. Namun dari mulut ke mulut, berita tentang tingkah laku anak-anak Lumban Kulon itu sudah tersebar diantara anak-anak muda Lumban Wetan.

“Kita bersiap. Jika perlu, kita tidak segan bertindak. Kita tidak silau lagi dengan olah kanuragan yang mereka pelajari dari Daruwerdi. Meskipun kita terlambat mulai, tetapi kita melakukannya setiap hari. Sedangkan mereka tidak” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.

“Bersiaplah” berkata Semi, “tetapi jangan bertindak sendiri-sendiri jika kalian masih mengakui aku sebagai pelatih kalian”

Anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan Jlitheng yang bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Namun bagaimanapun juga anak-anak muda itu pun telah merasa tersinggung sekali, bahwa anak-anak muda Lumban Kulon benar-benar akan memaksakan kehendaknya.

Anak-anak muda Lumban Wetan itu pun kemudian telah berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Di sawah, di sudut desa, di padang tempat mereka menggembala dan saat-saat mereka membelah kayu di kebun-kebun.

“Kita menunggu” desis seseorang.

“Apakah kita tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Lumban Kulon” tiba-tiba seseorang bertanya.

“Sebaiknya kita melihat apa yang mereka lakukan, meskipun kita tidak akan berbuat apa-apa” sahut yang lain.

Beberapa orang akhirnya sepakat untuk melihat meskipun hanya dari kejauhan, apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak Lumban Kulon atas pintu air yang telah mereka buat bersama-sama

Tetapi agar yang mereka lakukan itu tidak menumbuhkan kekecewaan di hati Semi, maka anak-anak itupun memerlukan menemuinya dan mengatakan maksudnya”

“Jangan terlalu banyak” berkata Semi, “Aku kira sepuluh orang sudah cukup. Tentu saja sepuluh orang terbaik diantara kalian”

Anak-anak muda Lumban Wetan itu tidak membantah. Mereka telah menugaskan sepuluh orang terbaik untuk menyaksikan tingkah laku anak-anak Lumban Kulon yang akan membuka pintu air di bendungan.

Sebenarnyalah, bahwa anak-anak Lumban Kulon telah melakukan rencananya. Beriringan di sepanjang jalan mereka menuju ke bendungan dengan alat-alat masing-masing. Langkah mereka menunjukkan kegairahan kerja yang akan mereka lakukan. Mereka merasa bahwa mereka telah melakukan yang terbaik bagi anak-anak muda yang tahu benar akan tugas dan kewajiban mereka.

Seperti yang sudah mereka rencanakan, maka demikian mereka sampai di pintu air, maka Nugata telah memberikan beberapa petunjuk pelaksanaannya. Mereka akan membuka pintu air sehingga menjadi hampir dua kali lipat. Dengan demikian maka air yang naik di bendungan itu akan mengalir lebih banyak ke daerah persawahan di Lumban Kulon.

“Marilah” berkata Nugata kemudian, “Kita melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Kita akan memberikan masa depan lebih baik buat kampung halaman kita”

Anak-anak Lumban Kulon itupun bersorak. Mereka menyambut perintah itu dengan gembira.

Sejenak kemudian maka mereka pun segera mulai dengan kerja mereka itu. Dengan cangkul, linggis, kapak dan alat-alat yang lain, mereka mulai membuka pintu air dan mulai menyesuaikan mulut parit induk yang akan menampung air itu, setelah mereka menutup untuk sementara air yang mengalir lewat pintu air yang sedang mereka kerjakan itu.

“He, ternyata anak-anak Lumban Wetan tidak lebih dari tikus-tikus yang justru bersembunyi dalam saat seperti ini” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.

Suara tertawa telah meledak. Seorang lain menjawab dengan tidak segan-segannya, “Mulut mereka sajalah yang terlalu besar. Tetapi mereka tidak berani berbuat apa-apa sama sekali”

Sekali lagi suara tertawa meledak, justru lebih keras. Seolah-olah gurau itu merupakan iringan yang menyenangkan bagi kerja yang sedang mereka lakukan.

Dengan penuh gairah anak-anak muda Lumban Kulon itu melakukan pekerjaan mereka. Mereka mengayunkan alat-alat mereka dengan sepenuh tenaga. Parit yang akan menampung arus yang akan menjadi lebih besar itu harus mereka perlebar. Namun parit induk yang kemudian menyalurkan air itu ke parit-parit yang lebih kecil di jarak yang agak jauh dari pintu air, sudah cukup dalam untuk menampung air yang akan menjadi lebih deras mengalir.

Yang terdengar kemudian adalah suara gelak tertawa dalam sendau gurau yang gembira. Pada permulaan kerja itu. mereka merasa, bahwa tidak akan ada hambatan apapun yang akan ditimbulkan oleh anak-anak Lumban Wetan.

“Pemburu-pemburu itupun tentu harus membuat perhitungan sepuluh duapuluh kali lipat jika mereka akan membantu anak-anak Lumban Wetan” berkata salah seorang dari mereka, “karena pemburu-pemburu itu tahu, disini ada Daruwerdi”

Kawan-kawannya tertawa. Dan hampir diluar sadar, mereka telah memandang kekejauhan, ke bukit gundul tempat mereka berlatih bersama Daruwerdi.

Tetapi mereka tidak melihat, bahwa dari kejauhan Daruwerdi pun mengamati kerja itu dengan saksama. Wajahnya nampak muram. Namun ia tidak berbuat sesuatu yang meyakinkan. Ia sendiri dibayangi oleh keragu-raguan, karena selain kedua pemburu itu, ternyata di daerah Lumban itu telah hadir pula seorang dari Sanggar Gading, Rahu.

Karena itu, ia harus mempertimbangkan sebaik-baiknya apa yang akan dilakukannya. Juga pada saat-saat orang-orang Sanggar Gading datang dengan membawa Pangeran yang dimintanya, seperti yang dikatakan oleh Cempaka.

Namun sebenarnyalah, bahwa yang sedang memperhatikan anak-anak Lumban Kulon itu memperoleh pintu air bukannya Daruwerdi seorang diri. Dari arah lain, dua orang yang berwajah kasar berusaha untuk mengamatinya pula, meskipun dari jarak yang cukup jauh. Kedua orang itu pun mengerti, bahwa Daruwerdi tentu berada disekitar tempat itu, sehingga keduanya harus sangat berhati-hati agar mereka tidak bertemu dengan Daruwerdi.

Tetapi selain mereka, dari arah Lumban Wetan, Rahu, Semi dan kawannya pun memperhatikan peristiwa itu juga.

Meskipun mereka juga harus mengawasi kesepuluh orang anak-anak Lumban Wetan yang akan menyaksikan pula bagaimana anak-anak Lumban Kulon membuka bendungan.

Namun berbeda dengan yang lain, kesepuluh anak-anak Lumban Wetan itu tidak berusaha untuk bersembunyi. Mereka justru berusaha untuk dapat menyaksikannya dari jarak yang cukup dekat. Karena itu, maka tanpa menghiraukan tanggapan anak-anak Lumban Kulon mereka pun berjalan menyusuri pematang, mendekati bendungan. Beberapa puluh langkah dari bendungan mereka berhenti dan berdiri berjajar diatas pematang dengan tatapan mata yang tegang.

Kedatangan kesepuluh orang anak-anak muda itu memang mengejutkan. Justru hanya sepuluh. Mereka tahu, bahwa jumlah anak-anak muda Lumban Wetan hampir sama dengan jumlah anak-anak Lumban Kulon. Tetapi ternyata hanya sepuluh orang saja yang dengan beraninya melihat apa yang terjadi di bendungan itu.

“Anak-anak Gila” geram Nugata, “Apakah mereka ingin wajah-wajah mereka menjadi berubah”

“Tentu sepuluh anak muda terbaik di Lumban. Wetan” desis yang lain.

“Apa maksudmu dengan sepuluh terbaik?” bertanya Nugata.

“Sepuluh orang yang menyelenggarakan latihan terpisah” jawab kawannya.

Nugata tersenyum. Katanya, “Apa bedanya. Aku tahu bahwa seorang dari kedua pemburu itu mengadakan latihan khusus buat sepuluh orang, yang barangkali kau sebut dengan sepuluh orang terbaik itu. Tetapi aku tidak yakin, bahwa hasilnya cukup memadai”

“Nampaknya mereka terlalu yakin akan diri mereka sendiri” desis yang lain lagi.

“Jangan hiraukan” berkata Nugata, “Jika mereka akan berbuat sesuatu, biarlah mereka mencobanya. Tetapi jika mereka hanya datang untuk melihat, biarlah mereka berdiri disana. Aku kira mereka tidak akan tahan sampai matahari naik. ke puncak.

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka kembali terbenam ke dalam kerja mereka. Dengan penuh kesungguhan mereka mengayunkan cangkul, linggis dan alat-alat yang lain untuk menambah arus air yang mengalir ke Lumban Kulon.

Sementara pintu air yang sedang mereka perlebar itu ditutup, maka justru air yang mengalir ke Lumban Wetan lah yang menjadi semakin besar meskipun tidak terlalu banyak.

Untuk beberapa saat anak-anak Lumban Kulon itu dapat melepaskan perhatian mereka kepada kesepuluh orang anak-anak Lumban Wetan itu. Namun karena anak-anak Lumban Wetan itu berdiri saja di tempatnya, bahkan satu dua orang justru melangkah semakin dekat, maka kehadiran mereka semakin terasa mengganggu perasaan.

“Suruh mereka pergi” geram salah seorang anak muda Lumban Kulon yang bertubuh raksasa, yang pernah mengancam untuk memukul Jlitheng pada saat-saat Jlitheng ingin menengahi sengketa mengenai air.

“Biar sajalah” desis yang lain, “Mereka akan pergi dengan sendirinya, jika panas matahari terasa membakar tubuh maka mereka tidak akan betah berdiri disita. Berbeda dengan kita. Meskipun punggung kita kepanasan, tetapi justru karena kita bekerja, maka kita tidak merasakan sengatan matahari itu.

“Tetapi aku muak melihat mereka” geram orang yang bertubuh raksasa itu.

“Jangan hiraukan” Nugata membentak.

Orang itu terdiam. Tetapi ternyata bahwa perasaan itu tidak hanya tumbuh di hati anak muda bertubuh raksasa itu saja. Beberapa orang anak muda yang lain pun merasa, seolah-olah sepuluh pasang mata anak-anak Lumban Wetan itu selalu memandanginya. Sorot matanya menggelitik hatinya, sehingga mereka pun menjadi gelisah.

Nugata yang membentak kawannya yang merasa terganggu oleh anak-anak Lumban Wetan itupun semakin lama merasa pula, bahwa kehadiran kesepuluh orang anak-anak Lumban Wetan itu telah mempengaruhi kerja kawan-kawannya. Karena itu, beberapa saat kemudian, perhatiannya justru tertuju kepada mereka.

“Anak-anak Gila” tiba-tiba saja Nugata mendengar seseorang mengumpat di belakangnya.

Ketika ia berpaling dilihatnya orang bertubuh tinggi besar itu bergumam lagi.

Nugata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Katanya, “Mereka memang sangat mengganggu. Suruh mereka pergi”

Orang bertubuh raksasa itu memandang Nugata sejenak, seolah-olah ia ingin meyakinkan, apakah yang dikatakan Nugata itu sebenarnya atau sekedar rasa jengkelnya karena ia selalu bergeremang.

Tetapi Nugata itu sekali lagi berkata, “Suruh mereka pergi”

Perintah itu tidak perlu diulanginya. Anak muda bertubuh raksasa itupun segera meletakkan cangkulnya dan meloncat turun menyeberangi sungai di bawah bendungan.

“Kenapa anak itu?” bertanya seorang kawannya.

Kawan-kawannya yang lain pun termangu-mangu. Sementara anak muda bertubuh raksasa itu meloncat dengan tangkasnya dari batu ke batu.

Nugata yang juga mendengar pertanyaan salah seorang anak Lumban Kulon itupun menjawab, “Aku suruh anak itu mengusir anak-anak Lumban Wetan yang gila itu”

“Bagus” tiba-tiba beberapa orang berdesis hampir bersamaan. Merekapun telah dihinggapi perasaan yang serupa bahwa kehadiran kesepuluh orang itu benar-benar sangat mengganggu.

“Tetapi kenapa ia hanya pergi sendiri?” bertanya yang lain.

“Bukankah kita berada disini? Kita akan melihat, apakah anak-anak Lumban Wetan akan berbuat gila. Jika sepuluh orang anak-anak Lumban Wetan itu berani berbuat gila atas kawan kita, maka kita tidak akan tinggal diam. Kita tidak takut, seandainya anak-anak Lumban Wetan seluruhnya sudah siap keluar dari balik gerombol di padukuhan terdekat itu dan berlari-lari membantu mereka” geram Nugata.

“Kita sudah siap. Sahut yang lain dengan lantang meskipun kita tidak bersenjata, tetapi kita sudah siap untuk bertempur.

Nugata tidak menjawab lagi. Ia mulai memperhatikan kawannya yang bertubuh raksasa itu memanjat tebing. Langkahnya ringan meskipun tubuhnya tinggi besar.

“Anak itu memang dapat dibanggakan” berkata Nugata.

“Ya, jika ia harus berkelahi dengan jujur seorang lawan seorang tidak akan ada anak Lumban Wetan yang dapat mengalahkannya. Bahkan aku berani bertaruh uang sekeping bahwa ia akan menang melawan tiga orang sekaligus dari kesepuluh anak-anak Lumban Wetan itu” sahut yang lain.

Nugata tidak menjawab. Tetapi ia pun menganggap demikian pula. Anak muda bertubuh raksasa itu akan dapat mengalahkan tiga orang sekaligus dari anak-anak yang disebut anak-anak terbaik dari Lumban Wetan itu.

Sejenak anak-anak Lumban Kulon itu memperhatikan kawannya yang telah meloncat sampai keatas tanggul. Kemudian dengan langkah tetap dan pasti ia mendekati anak-anak Lumban Wetan yang berdiri di pematang.

Kedatangan anak bertubuh raksasa itu membuat anak-anak Lumban Wetan menjadi tegang. Tetapi mereka pun segera bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Rasa-rasanya mereka sudah bersiap apapun yang akan terjadi atas mereka.

Beberapa langkah dari kesepuluh anak-anak Lumban Wetan, maka anak muda bertubuh raksasa itu berhenti. Dengan wajah tegang dan bersungguh-sungguh ia berkata, “Nugata memerintahkan kalian meninggalkan tempat ini”

Salah seorang dari kesepuluh orang itu melangkah maju. Seorang anak muda yang bertubuh sedang, bahkan agak ke kurus-kurusan. Tetapi ia adalah anak muda yang tertua umurnya diantara kesepuluh kawan-kawannya.

“Kenapa kami Harus meninggalkan tempat ini?” bertanya anak bertubuh sedang itu.

“Kehadiran kalian sangat mengganggu perasaan kami, “-jawab anak muda bertubuh raksasa itu.

“Apakah kau merasa terganggu?” bertanya anak Lumban Wetan itu.

“Kami semua merasa terganggu. Karena itu pergilah?”

Tetapi anak muda Lumban Wetan itu menarik nafas sambil menjawab, “Kau memang aneh. Kami hanya berdiri diam disini tanpa berbuat apa-apa. Tetapi kalianlah yang dengan langsung telah mengganggu kami. Perbuatan kalian adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab”

“Aku tidak akan berbantah tentang bendungan, air, pintu air dan parit-parit. Itu adalah hak kami untuk menentukan karena bendungan ini terletak di daerah Lumban Kulon. Bukit yang bermata air itupun terletak di daerah Lumban Kulon” sahut anak muda dari Lumban Kulon itu.

“Tidak seorang pun yang pernah mengatakan demikian. Sungai ini adalah sungai kita bersama. Bukit-bukit itu adalah bukit kita bersama. Dan orang-orang tua kita pun pernah hidup bersama tanpa batas” berkata anak-anak Lumban Wetan itu, “kita pun telah mencoba untuk hidup bersama. Meskipun dalam batas yang telah disepakati, namun kita masih mencoba untuk meneguk air dari jambangan yang sama dan memetik padi dari hamparan sawah yang mempunyai harapan yang sama. Tetapi kalian telah berusaha untuk merusak usaha itu. Kalian merasa memiliki hak dan wewenang lebih banyak atas, sungai, bukit dan air diatas tanah Lumban ini.

“Jangan merajuk. Kita memang lebih banyak mempunyai hak atas air itu” berkata anak Lumban Kulon.

“Kalian lebih mementingkan ketamakan daripada persaudaraan. Persaudaraan antara kita orang-orang Lumban” geram anak Lumban Wetan itu.

Anak muda Lumban Kulon itu menggeretakkan giginya. Dengan sorot mata yang garang ia menggeram, “Jangan banyak bicara lagi. Pergilah. Kawan-kawanku telah berusaha untuk tetap bersabar. Karena itu maka aku pergi seorang diri untuk memberitahukan kepada kalian, agar kalian meninggalkan tempat ini. Kalian telah mengganggu kerja kami. Tidak ada alasan yang dapat kalian katakan kepada kami”

Tetapi jawab anak muda Lumban Wetan itu mengejutkan, “Kami berdiri di tempat kami. Di daerah Kabuyutan kami. Apa pedulimu. Kami tidak akan pergi dari tempat ini. Kami ingin melihat, sampai seberapa jauh kalian memanjakan ketamakan hati kalian”

Kemarahan anak muda bertubuh raksasa itu tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka ia berkata, “Kami dapat memaksa kalian pergi dengan kekerasan. Kami sudah berniat untuk membuka pintu air yang menuangkan air ke tanah persawahan di Lumban Kulon lebih lebar. Bahkan dua kali lipat dari pintu air yang melepaskan air ke tanah persawahanmu”

“Aku sudah melihat, bahwa kalian sedang melakukannya” jawab anak muda Lumban Wetan itu, “Dan kami sedang menilai bobot kemanusiaan kalian, anak-anak muda Lumban Kulon”

Anak muda Lumban Kulon itu masih menahan diri sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Katanya, “Aku berkata sekali lagi, pergilah. Jika kalian tidak mau pergi, maka aku tidak akan dapat menahan diri lagi. Aku akan memaksa kalian untuk pergi”

“Kau sendiri? Atau kau akan memanggil kawan-kawanmu” bertanya anak muda yang tertua dari Lumban Wetan itu.

“Aku sendiri sanggup mengusir kalian semuanya, bersepuluh” jawab anak muda bertubuh raksasa itu.

Sejenak, anak muda Lumban Wetan termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kau terlalu sombong. Baiklah aku pun mengimbangi kesombonganmu. Kami tidak akan pergi. Jika kau seorang diri ingin memaksa kami pergi, mungkin dengan kekerasan, maka aku seorang dirilah yang akan melawanmu dengan kekerasan pula, karena sebenarnyalah bahwa kami tidak mau pergi dari tempat ini”

Anak muda Lumban Kulon itu menggeram. Katanya, “Kau memang dungu. Kau kira, karena kalian bersepuluh ini termasuk anak-anak muda terbaik dari Lumban Wetan, dengan serta merta berani melawan aku, he?”

“Kenapa tidak? Jika kau berlatih pada Daruwerdi, aku berlatih pada pemburu itu. Ternyata bahwa Daruwerdi tidak dapat mengalahkan pemburu itu dalam perkelahian seorang melawan seorang” jawab anak muda Lumban Wetan itu.

“Kau memang bodoh. Seandainya benar Daruwerdi tidak dapat mengalahkan pemburu itu, tentu ia memang tidak ingin melakukannya untuk menjaga perasaan pemburu itu. Tetapi kami berlatih jauh lebih lama dari yang kalian lakukan. Dan bagaimanapun juga, maka kau akan menyesal jika kau tidak merubah keputusanmu” berkata anak muda bertubuh raksasa itu dengan lantang.

“Aku tetap pada pendirianku” jawab anak tertua dari sepuluh anak muda dari Lumban Wetan itu.

Anak muda dari Lumban Kulon yang bertubuh tinggi besar itu menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba iapun kemudian tertawa berkepanjangan sambil berkata, “Kau memang aneh. Kau kira yang kau lakukan itu akan memberikan kebanggaan bagimu? Sebenarnyalah yang kau lakukan itu tidak lebih dari satu lelucon yang pahit. Kita, kau, aku dan siapapun yang akan menyaksikan-nya, tidak akan tertawa karenanya. Tetapi kita semuanya akan menangisimu yang menjadi pingsan di pematang ini. Karena itu, pertimbangkan sikapmu itu baik-baik”

Anak Lumban Wetan itupun bertambah tegang pula. Sejenak ia memandang anak muda bertubuh raksasa itu. Kemudian dilayangkan pandangan matanya ke seberang sungai. Dilihatnya anak-anak Lumban Kulon yang sedang membuka pintu air itu pun telah dicengkam oleh ketegangan pula. Mereka berdiri diam mematung sambil menunggu, apa yang akan terjadi.

“Bagus” berkata anak muda bertubuh raksasa dari Lumban Kulon itu, “nampaknya kau sudah mulai melihat kenyataan. Pikirkanlah sebaik-baiknya. Ambillah sikap yang benar untuk kepentinganmu dan kepentingan kawan-kawanmu”

Tetapi jawab anak Lumban Wetan itu tidak diduganya Katanya, “Terima kasih. Kau masih berpikir panjang. Kau masih berusaha untuk menghindari kekerasan. Tetapi sayang, bahwa usahamu untuk menghindari kekerasan ternyata masih juga dengan memaksakan kehendakmu untuk mengusir kami. Sebaiknya, kau tetap berdiri pada sikapmu, menghindari kekerasan. Tetapi tidak dengan mengusir kami. Kau sajalah yang kembali kepada kawan-kawanmu dan biarlah kami tetap disini. Akan lebih baik lagi, dan kami pun akan berterima kasih, apabila kau bawa kawan-kawanmu kembali dan memulihkan pintu air itu seperti sediakala”

“Anak Gila” geram anak muda bertubuh raksasa itu, “Ternyata tidak ada pilihan bagiku. Baiklah. Marilah kita lihat, bahwa aku akan berhasil mengusir kalian”

Anak muda dari Lumban Wetan itu bergeser setapak. Katanya, “Kami tetap pada pendirian kami”

“Jangan kau hadapi aku sendiri. Ajaklah dua tiga orang kawanmu untuk melawan aku, atau barangkali kalian bersepuluh akan maju bersama-sama” geram anak muda Lumban} Kulon itu.

Tetapi anak muda Lumban Wetan itu menjawab, “Aku akan menjajagi kemampuanmu seorang diri. Kau berlatih pada Daruwerdi untuk waktu yang lebih lama, sementara aku berlatih pada pemburu itu untuk waktu yang meskipun lebih pendek, tetapi dengan cara yang lebih baik”

Anak muda bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi. ia pun segera bersiap. Dipandanginya sembilan orang yang lain, yang nampaknya memang tidak akan melibatkan diri ke dalam perkelahian yang akan segera terjadi itu.

“Mereka anak-anak yang sombong sekali” katanya di dalam hati.

Dalam pada itu, beberapa orang anak muda dari Lumban Kulon telah meninggalkan kerjanya, melangkah mendekat ke bibir tebing. Bahkan ada satu dua orang yang meloncat turun untuk menyeberang.

Sejenak kemudian. Nugata pun telah berada di sebelah Timur sungai. Ia berdiri dengan tatapan mata membara. Ternyata anak Lumban Wetan itu benar-benar ingin melawan seorang lawan seorang.

“Tidak tahu diri” geram Nugata. Kemudian katanya kepada anak muda bertubuh raksasa itu, “Selesaikan anak itu. Tetapi juga, agar ia tidak akan mati. Bagaimanapun juga Kabuyutan kita masih mempunyai hubungan dengan Kabuyutan Lumban Wetan”

Anak muda bertubuh raksasa itu mengangguk Sementara anak-anak Lumban Wetan yang lain pun bergeser semakin dekat pula.

Karena anak-anak muda dari Lumban Kulon dan Lumban Wetan seolah-olah telah berkerumun melingkari kedua anak muda yang akan berkelahi itu, maka anak-anak muda Lumban Kulon yang berada di seberang tidak dapat melihat dengan jelas, Karena itu, maka mereka pun telah menyeberang pula ke Timur.

“Bersiaplah” berkata anak muda bertubuh raksasa itu. Anak muda Lumban Wetan itupun telah bersiap. Ia bergeser setapak ketika lawannya mendekat maju sambil menjulurkan tangannya.

Karena anak muda Lumban Wetan tidak mau menyerang lebih dulu, maka anak muda Lumban Kulon itulah yang melangkah maju sambil menggerakkan tangannya memancing serangan. Ketika lawannya hanya bergeser kesamping, maka anak muda bertubuh raksasa itu kehilangan kesabaran. Dengan keras ia melangkah sambil memukul kening.

Tetapi lawannya mengelak sambil meloncat. Dengan satu putaran ia menyerang dengan tumitnya. Namun lawannya telah menangkisnya dengan tangannya, sekaligus berusaha menghan-tam dengan kakinya pula mengarah lambung.

Anak muda Lumban Wetan itu masih sempat menggeliat. Kaki lawannya tidak menjangkau lambungnya. Demikian anak muda bertubuh raksasa itu berdiri tegak, maka Lumban Wetan itu pun meloncat menggapai leher lawannya dengan ujung-ujung jarinya.

Anak muda Lumban Kulon itu sempat menangkis dengan kedua tangannya yang memukul kesamping, sekaligus menghantam lawannya dengan sikunya sambil melangkah maju.

Tetapi sekali lagi serangannya itu dapat dielakkan. Bahkan lawannya telah mendapat kesempatan menyerangnya pula dengan kakinya.

Semakin lama perkelahian itu menjadi semakin cepat. Anak-anak muda Lumban Kulon menjadi semakin banyak melingkari pertempuran Itu, sementara kesembilan anak-anak muda Lumban Wetan bagaikan tenggelam diantara mereka.

Dari kejauhan, Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sempat lagi melihat apa yang terjadi. Ia hanya melihat kerumunan anak-anak muda Lumban Kulon yang kemudian justru berteriak-teriak seperti sedang menyabung ayam.

Meskipun demikian, ia tidak meninggalkan tempatnya. Jika mungkin terjadi sesuatu, ia tidak boleh membiarkannya. Dari gerak dan sikap anak-anak Lumban Kulon ia akan dapat menduga apakah yang sedang mereka lakukan.

“Mereka tidak boleh beramai-ramai mengeroyok kesepuluh anak-anak Lumban Wetan” berkata Daruwerdi di dalam hatinya. Ia sadar, bahwa kedua pemburu di Lumban Wetan itu tentu tidak akan tinggal diam. Mereka dapat menggerakkan anak-anak Lumban Wetan yang lain bersama mereka berdua. Apalagi di Lumban Wetan ada Rahu, meskipun orang itu sama sekali tidak terlibat langsung, namun jika ia mendapat keterangan yang dapat mempengaruhinya, mungkin ia dapat berbuat sesuatu.

Karena itu, maka Daruwerdi telah memperhatikan perkelahian itu lewat sikap dan tingkah laku anak-anak Lumban Kulon. Ia akan segera mengetahui jika anak-anak Lumban Kulon itu bertindak bersama-sama atas anak-anak Lumban Wetan.

Dalam pada itu, Semi dan kawannya menjadi berdebar-debar pula. Mereka juga tidak dapat melihat apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi seperti Daruwerdi, mereka akan segera mengetahui jika anak-anak Lumban Kulon seluruhnya terlibat dalam perkelahian.

Rahu pun termangu-mangu pula. Ia masih tetap menunggu, karena ia tidak mempunyai pilihan apapun juga dalam persoalan yang tiba-tiba saja dihadapinya di daerah Sepasang Bukit Mati itu

Namun dalam pada itu, anak Lumban Wetan pun telah melihat pula dari kejauhan apa yang telah terjadi. Tetapi mereka masih tetap menahan diri, karena mereka mengerti, bahwa hanya sepuluh orang kawannya sajalah yang boleh mendekat. Tetapi sorak sorai anak-anak Lumban Kulon yang terdengar lamat-lamat dari ujung padukuhan, ternyata telah menggelitik hati mereka.

“Cegah anak-anak itu mendekat” berkata Semi kepada kawannya yang melihat anak-anak Lumban Wetan berkerumun di ujung lorong.

Kawan Semi itu pun mendatangi mereka dan menasehatkan agar mereka tetap menahan hati.

“Bagaimana jika anak-anak Lumban Kulon itu mengeroyok kesepuluh kawan-kawan kami” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tidak. Mereka tidak akan melakukannya. Namun jika demikian, kita akan mengambil sikap” berkata pemburu itu.

Anak-anak muda Lumban Wetan itu menjadi gelisah Jlitheng yang kemudian berada pula diantara mereka, ikut menjadi tegang pula.

Dalam pada itu, perkelahian antara kedua anak Lumban itu menjadi semakin seru. Ternyata anak muda bertubuh raksasa dari Lumban Kulon itu mulai merasa, bahwa lawannya tidak selemah seperti yang dibayangkan.

Meskipun anak muda Lumban Kulon itu yakin, bahwa kekuatan tenaganya melampaui kekuatan lawannya, namun lawannya telah mempergunakan kelebihan yang tidak dapat diatasinya. Lawannya yang lebih kecil itu mampu bergerak lebih cepat. Bahkan kadang-kadang ia merasa mulai kehilangan sasaran.

Anak-anak muda Lumban Kulon menjadi semakin tegang. Suara sorak yang gemuruh mulai menurun. Mereka lebih banyak memperhatikan dengan jantung yang berdebar-debar. Beberapa kali serangan-serangan mereka telah saling mengenai sasaran. Hentakkan yang keras, telah melemparkan anak muda Lumban Wetan itu beberapa kali. Tetapi dengan tangkas ia masih sempat meloncat berdiri menghadapi segala kemungkinan.

Ketegangan yang mencengkam jantung anak-anak Lumban Kulon yang menyaksikan perkelahian itu mulai terasa pula oleh Daruwerdi. Anak-anak muda itu tidak lagi berteriak-teriak dan bersorak-sorak. Semakin tegang mereka dicengkam oleh perkelahian itu, maka teriakan-teriakan mereka pun menjadi semakin menurun.

Dalam pada itu, sembilan anak-anak muda Lumban Wetan yang ada diantara anak-anak Lumban Kulon yang semakin banyak itu pun menjadi tegang pula. Setiap kali kawannya dikenai serangan lawannya dan terlempar beberapa langkah, jantung mereka serasa berhenti berdenyut. Namun mereka pun segera melihat, kawannya itu melenting berdiri dengan tangkasnya.

Sentuhan-sentuhan serangan lawannya itu memang mulai terasa sakit ditabuhnya. Karena itu, maka anak muda Lumban Wetan itupun menjadi semakin berhati-hati. Setelah berkelahi beberapa saat, maka iapun sempat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Karena latihan-latihan yang lebih mengkhusus dari anak-anak Lumban Kulon, maka anak muda Lumban Wetan itu mendapat petunjuk yang lebih terperinci dari pemburu yang melatihnya. Ia tidak saja mempergunakan kekuatan tenaga dan kecepatan geraknya, tetapi iapun harus mempergunakan otaknya.

Karena itulah, maka anak muda Lumban Wetan itu mulai memancing lawannya dengan gerak yang cepat dan langkah-langkah yang panjang. Setiap kali ia meloncat menjauh. Namun tiba-tiba saja ia telah menyerang dari arah yang tidak terduga-duga sama sekali.

Meskipun anak muda Lumban Wetan itu tidak memiliki kekuatan tenaga seperti lawannya, namun dengan perhitungan yang lebih cermat ia berhasil membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung. Sentuhan-sentuhan serangan anak Lumban Wetan memang tidak sekuat serangan lawannya, namun semakin lama terasa juga semakin mengganggu.

Sekali-sekali terdengar anak muda Lumban Kulon yang bertubuh raksasa itu menggeram. Kadang-kadang ia mengumpat keras-keras jika hentakkan tenaganya untuk menyerang lawannya, sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan kadang-kadang tubuhnya sendiri telah terseret oleh kekuatan yang dilontarkannya.

Anak muda Lumban Wetan yang cerdik itu, telah memanfaatkan tenaga dorong lawannya itu untuk menghantamnya. Dengan satu loncatan kecil, ia menghindari serangan kaki yang meluncur dengan kekuatan penuh. Namun demikian tubuh lawannya itu bagaikan terbang sejengkal dihadapannya, maka anak muda Lumban Wetan itu justru telah menyerangnya dengan tangannya kearah lambung searah dengan serangan lawannya itu sendiri.

Oleh dorongan serangan itu, maka anak muda Lumban Kulon itu justru terlempar beberapa langkah sebelum dengan susah payah ia mempertahankan keseimbangannya. Tetapi begitu ia berhasil berdiri tegak, dengan kecepatan yang tinggi, anak muda Lumban Wetan itulah yang kemudian menyerangnya dengan cara yang hampir sama. Dengan kaki mendatar ia meluncur langsung menghantam tubuh anak muda Lumban Kulon itu dengan sepenuh kekuatannya

Serangan itu benar-benar telah mengejutkan. Bukan saja anak muda bertubuh raksasa itu. Tetapi anak-anak muda yang berkerumun disekitar arena perkelahian itupun terkejut Bahkan beberapa orang diantara mereka telah terpekik kecil.

Bersambung ke jilid 7

 

 

Sumber DJVU http://gagakseta.wordpress.com/

Ebook oleh : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

 

Diedit, disesuaikan dengan buku aslinya untuk kepentingan blog https://serialshmintardja.wordpress.com

oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Satu Tanggapan

  1. Lanjut ahh

Tinggalkan komentar